Buat satu kalimat.
Temanya?
Tentang masa lalu yang indah.
Butuh satu menit? Oh, tidak, tuan, itu berlebihan. Seongwoo kuasa menggelar–bahkan dalam format ribuan bentang–susunan kata yang menunjukkan bahwa, "Kehidupanku adalah keindahan. Masa lalu, berikut masa depanku."
Waktu kembar berlalu dalam gelimang lenggang irama senyum beserta tawa, dualisme kebahagiaan Seongwoo rasakan dan terima hingga detik ini. Tatapan kosong pada punggung bidang di ujung sana merupakan implementasi segaris cerita manis yang sudah terangkai jauh, jauh hari sebelum aroma ini disaksikan khalayak semesta.
'Dia. Dia adalah mutlakku.'
Seongwoo tentunya berjalan dengan tenang, karena yakinnya, Langit takkan mencabut kebahagiaan itu semena-mena.
"Kau datang lagi."
Ucap si penerima ketibaan Seongwoo.
Setelah mencium kening, dia mengusap rambut Seongwoo–yang sudah duduk di sebelahnya. "Kenapa tidak bersama adikmu?"
"Tidak. Aku akan membiasakan sendirian mulai sekarang." Seongwoo tersenyum.
"Oi, oi, bagaimana jika di jalan ada apa-apa?"
"Kang Daniel. Di jalan tidak ada harimau. Kenapa secemas itu."
"Ya, ya, selalu, selalu bandel."
Yang tersenyum dan mencubit tanduk hidung Seongwoo itu adalah Kang Daniel.
Titik pusat keindahan hidup Ong Seongwoo.
Tepi sungai di menjelang sore. Kanvas yang terpasang rapi, harum khas goresan cat minyak di kulitnya, dan, ahaha, ya, kurva senyum mereka berdua. Warna apa yang tersembur? Jutaan. Belantika langit adalah sasana tarian asmara dalam seruang rasa cinta.
Tunggu, indah-indah yang tersebut, apa esensinya?
Tidak ada, mungkin.
Sudahlah, biarlah segala kata dirangkai dengan bebas. Ini tentang alam Seongwoo yang selalu bahagia. Yang selalu indah. Yang selalu membuatnya tersenyum. Yang selalu merengkuhnya dengan hangat. Yang selalu membelainya dengan rasa puas dan terima kasih tak henti ke hadirat Junjungan.
Angin sore yang menepi, "Daniel melukis apa?"
"Ooh." Tersenyum, tentu. "Aku pernah bilang kan kalau aku ingin melukis empat musimku. Ini yang terakhir, musim semi."
"Pasti cantik, ya."
Daniel ingin jahil. "Tentu. Kau kalah cantik."
"Aku memang tidak cantik. Aku tampan." Seongwoo lalu tertawa–sebab ia tahu Danielnya mendecih. "Omong-omong, seindah apa musim semi?"
Seindah apa musim panas.
Seindah apa musim gugur.
Seindah apa musim dingin.
Daniel masih ingat pertanyaan-pertanyaan itu.
"Eum, seindah apa? Indah sekali, Woo. Bunga-bunga mekar. Daun-daun merimbun. Air sungai tidak membeku, ikan-ikan bermain. Kalau kau tahu, di pohon dekat kita, ada tiga burung yang bercengkerama."
Seongwoo suka ini. Jawaban Daniel selalu mengejawantah dalam pikirannya, menjadi visual khayali.
Masih khayali.
"Aku jadi semakin ingin melihatnya." Seongwoo mengeluarkan kotak makan, membukanya. "Roti ini juga, kata Kak Sungwoon, bentuknya seperti kepala Pororo. Haha."
"Memang kau pernah lihat Pororo?"
"Anggap saja pernah supaya pembaca bahagia."
Daniel terbahak. "Bercanda, sayang. Kenapa ya aku suka menggodamu?"
"Karena kau jahil sejak dalam kandungan?"
"Yang benar itu, karena aku manis sejak dalam kandungan." Daniel meletakkan kuas, mengusap punggung kepala Seongwoo. "Woo, mungkin karena kau indah."
"Apa hubungannya." Meski acuh dengan mengambil lalu menggigit satu roti, Seongwoo tersenyum juga.
Berikutnya adalah hening.
Mereka diam sembari tak melepas senyuman. Daniel hampir menyelesaikan lukisannya. Seongwoo terpejam seraya menggumamkan instrumen kesukaan. Ketika goresan terakhir selesai diucapkan, "Daniel."
"Ya?"
"Apakah, lusa aku benar-benar bisa melihatmu tersenyum?"
Pandangan fana dari bola mata itu lurus, mendatar horizon senja.
Dan Daniel memastikan bahwa tangan hangat Langit akan datang menyapa wajah Seongwoo esok hari.
"Ya. Itu pasti." Daniel menegapkan bahu Seongwoo. "Kau akan bisa melihatku, melihat lukisan empat musim yang sudah kita buat bersama. Nanti, kau juga bakal tahu seberapa indahmu."
Seongwoo menggenggam pinggang Daniel.
"Aku, hanya takut jika semuanya semakin gelap." Suaranya pelan. "Tapi kalau kau berkata demikian, tentunya aku harus percaya."
"Tuhan dan aku tidak pernah membohongimu. Kita sudah sepakat."
"Boleh aku bilang sesuatu?"
"Apa itu?" Daniel menyondongkan wajahnya.
Lalu Seongwoo mengecupnya.
* * *
Pada suatu hari, awan-awan menepi, mempersilakan seseorang datang, datang untuk menyaksikan sebuah senyum paling menawan yang pernah terwujud untuknya.
Tepat saat hari ulang tahunnya, Seongwoo berpisah dengan kegelapan.
Ia diperkenankan melihat dunia.
Betapa sempurnanya kebahagiaan; ketika dia hadir dalam keadaan menyedihkan, ia singkirkan semua rasa sesal, menganggap semua yang dia terima sebagai anugerah hakiki. Dan saat Angkasa memeluknya, Seongwoo justru semakin menerima kebahagiaan berlipat ganda.
* * *
arsaya /ar·sa·ya/ 1 (a) bahagia; 2 (n) keadaan atau perasaan senang dan tenteram.
A/N:
Salam kebahagiaan. Teruntuk kesebelasan paling gagah yang ternisbah dalam rangkaian cerita indah, terima kasih sudah mewarnai ruang kebahagiaan kami. Terima kasih, terima kasih Wanna One. Selamat berjuang semuanya, selamat berbahagia!
– dan selamat menempuh hidup baru
KAMU SEDANG MEMBACA
Apsara [Wanna One]
Short StoryDia bilang, di balik wajah awan, ada dewa-dewa yang sibuk dengan ponselnya masing-masing; sembari sesekali, tersenyum geli. [One Shot-Two Shot Compilation/All Wanna One Pairs/Wanna One Fiction] Cover Photo © Cereal Magazine