Saat itu akhir bulan Desember dan terjadi badai salju besar. Di saat orang-orang menghangatkan diri di depan perapian, aku justru berdiri di sisi jembatan dengan kedinginan. Uap keluar dari mulut dan hidungku ketika aku bernafas.
Di sinilah aku. Mengakhiri hidupku yang sudah tak berarti lagi, hidupku yang sudah terlalu buruk untuk dapat kujalani. Jantungku berdegup kencang dan tanganku sudah memutih karena mencengkram pagar pembatas jembatan dengan begitu kencangnya. Aku tak tahu sudah berapa lama aku berdiri di sini, siap untuk melompat. Air sungai di bawahku diselimuti oleh es yang tebal. Pasti aku akan mati dengan cepat. Membentur kepalaku hingga pecah dan membuat tulangku patah. Sepertinya kematian yang begitu menjanjikan.
Kudengar sayup-sayup suara deru motor yang semakin mendekat. Diam-diam aku bertanya mengapa dia berkendara di tengah cuaca ektrim seperti ini? Apa dia gila? Seseorang perlu memperingatkannya.
"Ingin bunuh diri ya?" tanya seorang pria dengan suara beratnya.
Aku menoleh pada pria pemilik suara tersebut. Ia menyandarkan tubuhnya di pagar di sampingku, menatapku dengan penuh ketertarikan. Rambutnya yang hitam pekat mulai dipenuhi oleh salju. Dengan hanya mengenakan jins, sepatu boot, kaus dan dilapisi dengan jaket kulit, benar-benar membuatku ingin mengacungi dua jempol untuk ketidakwarasannya dalam berpakaian di tengah badai seperti ini.
Kuperhatikan ia mengambil bungkus rokok dari saku celananya dan mengambil sebatang. Ia lalu menawariku satu dan aku hanya menggeleng. Apa dia sudah gila? Menawariku rokok sebelum ajal menjemputku.
Pria itu pun menyalakan rokoknya dengan korek api miliknya namun setiap kali ia berhasil membuat api, angin badai mematikan apinya hingga membuatnya kesal dan melemparkan puntung rokok ke sungai yang membeku.
Ia terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kau tahu, jika kau ingin bunuh diri, kusarankan cari pilihan yang lebih baik."
Aku mendengus kesal, tak bisa membalas perkataannya karena gigiku sudah bergemeletuk menahan dingin sementara tubuhku sedari tadi sudah menggigil kedinginan. Aku tak ingin ia tahu itu.
"Begini saja, jika kau lompat, aku akan lompat."
"Kau pikir siapa dirimu? Jack Dawson?" tanyaku dengan terbata-bata.
"Sayangnya kita tidak sedang berada di kapal Titanic. Maaf jika itu membuatmu kecewa." ujarnya lalu tersenyum memandangku. Aku terkesiap. Senyuman itu. Entah mengapa senyuman itu membuat udara dingin yang kurasakan menghilang seketika, menggantikannya dengan udara hangat yang menyelimuti tubuhku. Apa aku sudah ada di surga? Apa aksi bunuh diriku secepat itu hingga aku sama sekali tidak merasakan sakitnya? Dan apakah pria di hadapanku ini adalah malaikan pencabut nyawa yang menjemputku? Jika malaikat pencabut nyawa setampan dirinya, aku berani taruhan, banyak wanita yang rela mengantri untuk bertemu dengannya. Dalam tanda kutip, melakukan aksi bunuh diri dengan berbagai cara yang mereka pikir cukup gila.
Lalu kurasakan tangannya menyentuh pinggangku dan mengangkatku melewati pagar jembatan dengan susah payah. Aku tidak menolak. Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa berfikir apapun. Yang kulakukan hanyalah menatap kedua bola matanya yang begitu indah. Ada sesuatu dari balik matanya yang tidak kumengerti. Mata hazel itu begitu dalam. Membuatku terhanyut ke dalamnya.
Ia tak melepaskan tangannya dari pinggangku ketika kaki telanjangku sudah menapaki alas jembatan gantung ini. Lantas ia menarikku ke dalam pelukannya. Samar-samar aku dapat mencium aroma tubuhnya yang mengingatkanku akan musim semi di Budapest.
Aku tidak tahu siapa dirinya dan ia tidak tahu siapa diriku. Ia hanya membawaku pergi dengan motor besarnya menembus badai. Jaket kulitnya terlihat begitu kebesaran di tubuh mungilku dan sepatu bootnya membungkus kaki jenjangku yang tidak bisa lagi kurasakan karena sudah terlalu lama menginjak es. Aku bertanya-tanya, apakah ia sempat berniat melepaskan celananya dan membiarkanku untuk memakainya?
Kami sampai di sebuah apartemen yang tidak terlalu besar. Ia memarkirkan motornya begitu saja lalu menggendongku memasuki apartemen menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Apa aku seringan itu?
Sedikit kesusahan tetapi ia berhasil membuka pintu kamarnya dan merebahkanku ke tempat tidurnya yang begitu nyaman. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasakan tubuhku di tempat tidur.
Pria itu kembali menuju pintu dan menutupnya. Ia sama sekali tidak berbicara padaku lagi semenjak kejadian di jembatan tadi. Apakah ia tipe pria yang tidak banyak bicara? Sedikit hal yang bisa aku pelajari tentangnya.
Setelah beberapa menit ia berada di kamar mandi, ia kembali dengan membawa baskom berisi air panas dan sebuah handuk. Ia meletakkan baskom di atas meja di samping tempat tidur dan melepaskan jaket serta boot miliknya yang membungkus tubuhku. Lalu ia membasahi handuk dengan air panas dan mengusapnya ke seluruh tubuhku dengan gaun tidurku yang masih melekat di tubuhku.
Mataku tak pernah lepas darinya. Di balik tato yang menghiasi tubuhnya, tersimpan berjuta kebaikan yang tidak kumengerti. Cara ia menatapku, tersenyum padaku, merawatku, bahkan dia sama sekali tidak mengenalku. Tetapi ia memperlakukanku seolah aku adalah orang yang paling ia sayangi.
Dan saat itu kusadari bahwa Tuhan bukanlah mengirimiku malaikat pencabut nyawa, melainkan malaikat yang akan melindungiku dan menjagaku agar tetap hidup.
"Siapa namamu?" tanyanya saat mengeringkan rambutku dengan handuk kering dari bulir-bulir salju yang sudah mencair.
"Riley." jawabku dengan susah payah. "Kau?"
"Jack Dawson. Kau yang memanggilku begitu, ingat?"
Dan ia pun kembali menyunggingkan senyuman indahnya.
***
HEYYYAAA... akhirnya bisa lanjutin ceritanya setelah sibuk bikin trailer (tonton ya trailernya mueheheh) And don't forget, give me your vote and comment :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alive // z.m
FanfictionCHECK THE TRAILER ❝Don't look back, live your life, even if it's only for tonight.❞ Bagi Riley Williams, hidup sudah tak ada artinya lagi. Dengan berlatar belakang sebagai putri tunggal dari seorang mafia kelas kakap membuat dirinya tidak akan perna...