Aku terbangun pagi itu dan melihat pria yang menolongku semalam masih tertidur di sofa yang tak jauh dari tempat tidur. Kedua kakinya berada di dalam ember yang berisi air panas yang kini sudah mendingin. Aku ingat ketika aku terserang flu saat aku masih kecil. Ibuku memasukkan kakiku ke dalam ember berisi air panas dan membungkus tubuhku dengan selimut tebal. Ia meniup kedua tanganku untuk membiarkanku tetap hangat. Aku rindu saat-saat seperti itu. Kini aku tak bisa merasakannya lagi karena ibuku sudah lama meninggal.
Aku bangkit dan memposisikan tubuhku untuk duduk di pinggiran tempat tidur. Aku masih mengenakan gaun tidurku, itu artinya pria itu tidak berbuat macam-macam padaku. Dan aku tidak ingat jika ia memberi penanganan ektra padaku untuk mencegahku mengalami hypothermia sehingga kini aku merasa segar bugar.
Aku menoleh padanya. Memperhatikannya tidur. Aku rasa sekarang aku mengerti arti dari bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Dan dalam kasusku, itu artinya aku diberi pilihan untuk kembali menjalankan hidupku dan mempergunakannya dengan bijak.
Aku berjalan melihat sekeliling ruangan apartemennya yang tidak terlalu besar. Sepertinya ia berasal dari kalangan menengah kebawah.
Ruangan khas cowok dengan sedikit perabotan. Ia memiliki laptop di atas meja kerjanya dengan jam tangan dan pejer di sampingnya. Untuk apa dia memiliki pejer jika ia bisa menggunakan handphonenya?
Aku membuka laci mejanya dan melihat foto yang terbingkai dengan posisi terbalik. Foto dirinya saat masih kecil kurasa. Ia berdiri tersenyum lebar dengan kedua orangtuanya dan bayi perempuan yang digendong ibunya. Aku tersenyum mengelus foto itu. Kusadari hanya ada satu foto yang kulihat di apartemennya. Foto yang kupegang saat ini. Aku pun menaruhnya kembali dan menutup lacinya kemudian beralih pada lemari pakaiannya yang kecil.
Di rumah aku memiliki kamar sendiri untuk lemari pakaianku yang menampung ratusan jenis pakaian dan sepatu dengan merk terkenal. Ketika sekarang aku berada di hadapan lemari kecilnya, aku merasa bahwa aku memang tidak menghargai hidupku sendiri. Bahwa aku menghambur-hamburkan uang ayahku untuk sifat berlebihanku meski ayah tidak pernah memprotes. Bahwa aku tidak pernah berfikir tentang orang lain yang mengalami nasib lebih buruk dariku.
Aku membuka lemari kayu tersebut dan hanya melihat beberapa pakaian dengan warna putih, hitam, abu-abu dan denim. Aku mengambil satu kaus secara acak lalu melebarkannya di hadapanku. Kaus putih dengan tulisan 'yes' di depannya.
"Kau boleh memakainya jika kau mau." sebuah suara berat mengagetkanku. Aku menoleh ke belakang dan melihat pria itu sedang mengelap kakinya yang basah dengan handuk.
"Maafkan aku telah berlaku tidak sopan." kataku terbata-bata lalu menaruh kembali kausnya ke dalam lemari dan menutup pintunya.
Ia hanya tersenyum lalu memandangku cukup lama, membuat jantungku berdegup dengan kencang.
"Bagaimana kabarmu? Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanyanya yang kini memindahkan embernya ke pojok ruangan.
"Ya. Terima kasih sudah menyelamatkanku." jawabku, memainkan rambutku yang berantakan.
"Aku juga minta maaf karena memelukmu dan tidak membawamu ke rumah sakit. Aku hanya ingat untuk menjagamu tetap hangat karena kau bisa saja terkena hypothermia."
Aku menelan ludahku dengan susah payah. "Ya, tak jadi masalah."
Oh hebat. Aku terlihat begitu gugup sekarang. Ditambah dengan ia melepaskan kaus nya dan memperlihatkan dada bidangnya yang dipenuhi oleh tato dan entah mengapa itu terlihat seksi.
Ia berjalan menghampiriku sementara aku berjalan mundur perlahan. Namun ketika ia terkekeh dan membuka lemari pakaiannya, wajahku semakin panas saking malunya. Ia mengambil kaus yang kupegang tadi dan memakainya.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya lalu menyentuh keningku dengan punggung tangannya.
"Tubuhmu panas. Apa kau sakit?" kini ia meraih tanganku dan menyentuh pergelangan tanganku.
"Detak jantungmu cepat. Sepertinya aku harus membawamu ke rumah sakit."
Lalu ia menatapku dengan begitu khawatir. Aku tidak pernah memiliki seseorang yang peduli padaku dan mengkhawatirkanku dengan penuh kasih sayang setelah kematian ibuku. Ayahku begitu sibuk dengan pekerjaannya dan jarang sekali berada di rumah sementara ia menyewa bodyguard untuk mengawasiku seolah aku adalah tahanan di dalam rumahku sendiri. Aku tidak pernah tahu apa pekerjaan ayahku. Yang aku tahu bahwa ayahku adalah orang yang sangat penting, yang tidak memiliki waktu sedikitpun untuk sekedar menanyakan kabar putri satu-satunya.
"Riley, jika kau tak ingin pergi ke rumah sakit, aku bisa mengantarmu pulang. Aku tak ingin membuat orangtuamu khawatir."
Aku memandangnya takjub. Ia masih ingat namaku!
"Tidak." aku menggeleng. "Aku tidak sakit. Ini hanya aku yang tidak bisa menahan diriku karena berada di dekatmu."
Dia pun terkekeh, "Sepertinya salju itu membuat pikiranmu sedikit kacau ya?"
Lalu terdengar ketukan pintu dari luar. Pria itu berjalan menuju pintu dan membukanya. Aku melihat seorang gadis kecil dengan rambut hitam tergerai melewati bahunya berjalan masuk. Ia memandangku lalu tersenyum lebar.
"Kau pasti Riley. Semalam Zayn menelponku untuk membawakan pakaian untukmu." katanya lalu menyerahkan tote bag padaku dan aku menerimanya. Jadi pria itu bernama Zayn?
"Terima kasih banyak. Aku tidak tahu bagaimana bisa membalasnya." ucapku lalu menatap gadis itu dengan pandangan bertanya.
"Oh, aku Waliyha. Adik Zayn. Aku tinggal bersama bibiku tak jauh dari sini."
Aku mengerutkan dahiku, "Mengapa kau tinggal dengan bibimu?"
Zayn pun berdehem, "Sepertinya sudah cukup basa-basinya. Sekarang kau bisa berganti pakaian sementara aku akan mengecek motorku. Dan kau, Waliyha, kau bisa pulang."
Waliyha mendengus mendengar perintah kakaknya tapi ia tetap menurutinya.
"Senang bertemu denganmu, Riley." Waliyha pun memelukku erat.
"Oh ngomong-ngomong, Zayn tidak pernah berbicara pada wanita asing, bahkan membawanya ke apartemen. Sepertinya kau pengecualian." ujarnya sebelum pergi meninggalkan kami.
Aku menoleh pada Zayn tapi ia sama sekali tidak berkomentar apa-apa tentang perkataan Waliyha. Ia memakai sepatu bootnya dan mengambil jaket kulitnya.
"Setelah kau selesai berpakaian, kau bisa menyusulku ke bawah. Kita akan sarapan." ujarnya tanpa menoleh padaku.
***
HEYYYAAAA... maaf ya kalo dikit plus garing. Di sini ceritanya Zayn cuma punya adik satu doang. Cerita actionnya belum muncul nih (amatir juga sok-sok bikin cerita action xD)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alive // z.m
FanfictionCHECK THE TRAILER ❝Don't look back, live your life, even if it's only for tonight.❞ Bagi Riley Williams, hidup sudah tak ada artinya lagi. Dengan berlatar belakang sebagai putri tunggal dari seorang mafia kelas kakap membuat dirinya tidak akan perna...