AMNESIA

17 6 0
                                    

“Lagi-lagi diomelin.” Setiap akan berangkat sekolah kalimat itu yang selalu aku lontarkan. Leriana Ramon namaku. Sungguh aku bukan seorang lelaki, melainkan gadis yang memiliki kemiripan dengan sikap lelaki. Orang tuaku hanyalah pengusaha kecil. Ibu dan ayah memiliki toko kecil di depan rumah. Dan tak jarang aku suka mengusili mereka dengan mengambil beberapa makanan ringan di toko. Itulah yang menyebabkan ibu selalu memarahiku.

    Pagi ini aku menuju sekolah dengan rasa yang sama. Omelan yang mengantarkanku ke sekolah. Ricuhnya suara kendaraan tak membuatku kehilangan konsentrasi. Mengingat ucapan ibu yang terkadang menyayat hati, “ Mau sampai kapan, Nak. Kamu jadi bahan pembicaraan orang banyak. Bagaimana kamu bisa sukses jika hanya begini saja?” Ucapan yang begitu pedih rasanya.

    Seperti biasa aku selalu terlambat memasuki sekolah. Menuju warung diseberang sekolah. Dan aku akan memasuki kelas lima menit setelah lonceng berbunyi. Mata sayu, senyum manis, dan wajah ramah kubayangkan saat ini. Ya, ibuku.

Bagaimana dengan beliau jika aku tak ada perubahan? Bagaimana dengan ayah yang mengharapkan anaknya menjadi wanita militer? Aku tak ingin mengecewakannya. Tidak akan pernah kuingin menghancurkan impian mereka.

“Hehe, Pak Amat saya telat. Ijinin saya masuk dong, Pak. Lagi ada urusan bentar tadi sama teteh Ibel,” ucapku berbohong.

“Enak aja, mau masuk harus siap nerima konsekuensi dari Bapak, Leri harus lari keliling lapangan dan membayar denda lima ribu, paham,” ucap pak Amat.

“Yaelah pake malakin gue lagi. Gue Kerjain balik baru tau rasa.” Ujarku.

“Berani kamu, ya.”

“Ampun, Pak!”

Aku berteriak dan berlari menabrak tubuh Pak Amat yang tambun. Semakin menjauhi Pak Amat. Hingga aku menuju kelas dengan nafas terengah-engah. Suasana kelas sudah hening. Bu Rosita sudah memulai jam pelajaran. Ini kesekian kalinya aku terlambat. “Surat peringatan lagi pasti.” Aku menggerutu.

“ Maaf, Bu saya telat. Tadi ada urusan mendadak.” Ucapku singkat.

“ Ok. Tidak mengapa. Tapi seperti biasa temui Ibu dikantor setelah istirahat. Sekarang masuklah!”

Dengan nada yang sedikit membentak Bu Rosita menyuruhku masuk.

Seperti biasa aku mengikuti pembelajaran dengan santai. Meskipun aku nakal. Tetapi, aku sangat hobi belajar. Entah itu matematika, bahkan sampai bahasa daerahpun akan kusambut dengan senang hati.

Terkadang aku berpikir intelektual sudah kucapai, namun sikap dan karakterku tak bisa kurubah. Bak terjebak dalam liang tanah yang dalam. Aku tidak bisa menuntaskan masalahku ini. Rasanya begitu menyiksa.

Larut dalam proses pembelajaran yang Bu Rosita bawa. Tanpa disadari, sudah memasuki jam istirahat. Aku ingat Bu Rosita memanggilku kekantor. Dengan langkah lemas aku menyeret kakiku menuju kantor.

“ Permisi, Bu.” Sembari aku mengetuk pintu kantor.

“ Silahkan masuk, Leri.”

“ Ada apa ya, Bu? Masalah Leri terlambat ya, Bu. Kalau begitu dimana surat peringatannya, Bu?

“ Bukan, duduk dulu. Ibu tidak akan membahas itu. Ini mengenai masa depanmu.”

“ Baik, Bu.” Aku menuruti Bu Rosita

“ Ibu tahu maksud dari sikapmu ini. Bahkan Ibu tau cita-citamu itu apa. Tetapi caramu mengaplikasikan ke kehidupanmu itu salah.”

Aku terkejut. “ Ibu tau darimana. Bahkan impianku juga Ibu ketahui?”

“ Ya, benar. Leri, Ibu tau kamu ingin menjadi militer kan? Tapi sikapmu salah dan kamu bingung harus merubahnya kan? Ibu paham, Leri. Begini Ibu memiliki kerabat yang pekerjaannya sebagai militer. Ibu bisa saja mengirimmu kesana asal sikapmu harus berubah.  Ibu ingin sikap dan intelektualmu seimbang, Leri. Orang tuamu juga pasti berharap seperti itu, Nak.”

“ Bu, saya ingin sekali bisa jadi militer. Tolong, Bu bantu saya. Saya ingin merubah sikap tetapi sulit sekali. Rasanya ada yang menahan saya untuk berbuat kebaikan.” Ucapku lesu.

“Leri harus bisa bagaimanapun caranya. Jika sikapmu sudah baik maka secepatnya Ibu akan membantumu.”

“ Benarkah, Bu? Ok. Saya akan mencobanya, Bu. Terima kasih karena sudah memberi harapan besar untuk saya, Bu.” Ucapku dengan gembira.

“ Ya, sekarang kamu bisa kembali ke kelas.” Bu Rosita tersenyum.
            

Aku pergi dengan perasaan senang. Tapi aku harus bisa merubah sikapku untuk masa depanku. Harus berhenti mengusili Ibu tersayang, berhenti mengganggu Pak Amat, dan berhenti terlambat kesekolah.

Aku harus bisa menimbun dunia gelapku dengan lampu terang yang sudah terlihat. Melangkah tegas demi masa depan dan. Ya, amnesia. Melupakan kelakuan burukku. Sekali lagi aku harus bisa bangkit aku ingin membanggakan Ibu dan Ayah serta negeri tercintaku. Indonesia.

Setibanya di kelas. Aku harus bisa bersikap biasa saja. Sebab teman-teman di kelas pasti akan menghujaniku dengan pertanyaan. Kelakuanku masih sama. Tetap santai. Aku duduk dibangkuku dan mengambil buku diaryku. Aku menuliskan hal baru yang kudapatkan.

“ Leri.” Mia memanggilku. Seketika itu juga aku menyembunyikan diaryku di bawah meja.

“Iya, kenapa? Bikin kaget aja.” Ucapku dengan nada kesal.

“ Surat peringatan, ya.”

“ Bebas. Udah, ah aku ngantuk jangan ganggu.” Ucapku menghindari Mia.

Jam pulang sekolah tiba seperti biasa aku segera pulang, tetapi aku tidak lagi membuat ibuku khawatir.

“ Assalamualaikum, Ibu cantikku.”

“ Walaikumsalam. Tumben sudah pulang, Nak.” Ibu heran.

“Ya, dong. Leri mau jadi anak baik, Bu.”

Semenjak ucapan Bu Rosita yang membangun semangatku, kini aku sudah mulai berubah, tidak membantah kedua orang tuaku, tidak menjahili pak Amat lagi dan aku tidak pernah terlambat sekolah.

Kini sudah saatnya aku menemui Bu Rosita. Aku sudah siap. Aku bergegas menuju rumah Bu Rosita. Dengan pakaian yang rapi aku menuju rumah Bu Rosita.

“Assalamualaikum, Ibu.” Aku mengetuk pintu rumah.

“Waalaikumsalam, Nak. Ayo masuk dulu.” Bu Rosita tertegun.

“ Iya, Bu.” Aku segera memasuki rumah Bu Rosita.

“Bagaimana, Leri? Sudah siap.” Tanya Bu Rosita.

“ Iya, bu. Saya siap.”

Kami segera keluar  menuju mobil pribadi bu Rosita dan melaju untuk pergi ketempat yang aku impikan. Suasana senang menuju kesana, namun sayang. Aku tidak bersama orang tuaku. Dan hanya bersama doa beliau.

Hingga akhirnya, aku fokus ke satu tujuan. Dan tak bisa kuucapkan dengan kata-kata lagi. Aku diambang-ambang.

“Kamu siap dengan konsekuensi dari mereka, Nak.”

“ Cahaya terang sudah menungguku disana, Bu. Aku harus menjemputnya.”

“ Ikuti sifat hujan, berasal dari air dibawah. Mengguyuri bumi ini dari atas.”

                               ***
Ini cerpen yang aku perlombakan . Boleh di komen, di kritik kok. Mudahan reader suka ya👍

SharingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang