Potret Dunia Pendidikan Kita; Belajar Dari Kasus PR Matematika Siswa SD Kelas 2

20 0 0
                                    


Sebagai seorang guru, saya tertarik ikut nimbrung dalam perdebatan para nitizen terkait PR Matematika seorang siswa kelas 2 SD. Tetapi bukan untuk ikut dukung mendukung mana yang benar dari kasus tersebut. Saya hanya mencoba melihat perdebatan tersebut dari berbagai sudut pandang. Sebab sebagai seorang guru sejarah, saya diajari untuk melihat 'kebenaran' dari berbagai dimensi.

Perdebatan berawal dari titik berangkat yang berbeda antara guru dan kakak siswa. Guru menghendaki siswa berpikir sistematis, sementara kakak berpikir dari seseorang yang telah mengerti perkalian. Guru mengajarkan konsep, step by step, dan hasil bukanlah satu-satunya tujuan dalam proses pembelajaran. Sementara si kakak yang membantu, tidak memahami maksud guru, dan langsung menuju pada tujuan akhirnya; hasil. Karena si kakak bukanlah siswa SD yang mendapat PR tersebut, tentu mis komunikasi seperti ini lumrah terjadi. Namun sayangnya, ternyata ada kekeliruan konsep yang telah terjadi.

4+4+4+4+4+4 = x=menurut guru adalah 6 x 4 = 24 dan bukan 4 x 6 = 24, seperti apa yang diajarkan si kakak. Ini sepertinya konsep matematika sederhana, tetapi ternyata hal ini umum dipahami secara tidak tepat. Bahkan ada yang menganalogikan perhitungannya denganA x B = B x A, padahal konteknya jelas berbeda. Angka 4 ditambah 4 dan seterusnya adalah angka-angka yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Pada kasus ini, guru ingin mengajarkan siswa secara bertahap, dari kemampuan menjumlah ke kemampuan perkalian. Berbeda kasus jika soalnya adalah 6 x 4 =....x ..., tentu itu bisa dijawab dengan 6 x 4 = 4 x 6.

Seperti saya kemukakan di awal, saya tidak ingin melihat ini dari soal keliru tidaknya, tetapi dari berbagai segi yang dapat mengakibatkan persoalan ini mencuat. Barangkali ini bukan satu-satunya kasus, masih banyak kekeliruan-kekeliruan berpikir yang lain yang di khalayak dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sebagai guru, saya bersyukur ini mencuat, setidaknya menjadi evaluasi bahwa masih banyak persoalan mendasar yang perlu dibenahi dalam system pendidikan di negeri ini.

Jika persoalan PR Matematika ini menjadi perdebatan, ini jelas menginformasikan pada dunia pendidikan bahwa ada konsep yang dipahami keliru. Mereka yang dianggap keliru, adalah mereka yang pernah belajar di bangku pendidikan. Pertanyaannya adalah, darimana dulunya mereka mendapatkan pemahaman yang belum tuntas tersebut? Lagi-lagi ini menjadi otokritik terhadap proses dan kualitas pendidikan di negeri ini. Apakah selama inipendidikan di negeri ini cukup ilmiah dalam menjelaskan gejalailmu pengetahuan? Atau hanya sekedar tahu saja, yang penting tuntutan kurikulum tercapai?

Ketidak mengertian siswa yang diberi PR Matematika menjelaskan keinginan sang guru kepada kakaknya yang membantu, juga menimbulkan pertanyaan. Apakah guru mampu mengkomunikasikan setiap tugas dengan tepat? Sebab tidak jarang orang tua kebingungan ketika mengajari anaknya karena ketidakjelasan tersebut. Namun di sisi yang lain, tidak menutup kemungkinan, sang siswa mengalami kendala komunikasi.Saya juga sering, mendapati seorang siswa mengerjakan tidak seperti apa yang saya kehendaki.

Perdebatan menjadi semakin ramai, apalagi ini berawal dari hasil kerja yang diposting di social media. Sebagian dari komentar di social media yang saya amati adalah komentar-komentar pendek, reaktif, bukan telaah kritis. Sehingga, para komentator tidak mendudukkan persoalan secara konstektual. Cenderung menghakimi ; mempersalahkan, baik yang memposting ataupun menilai sang guru yang dianggap berlaku tidak adil, atau tidak tepat.Ini juga merupakan gejala dari modernitas, instan dan pragmatis. Kecenderungan melihat persoalan secara sepotong sepotong atau parsial seperti ini, menurut saya tidak sehat. Inilah juga yang saya pikir sebagai tantangan bagi pendidikan ke depan. Mengedukasi masyarakat agar mampu melihat segala sesuatunya secara komprehensif, karena hanya dengan cara demikian, kebijaksanaan dalam bersikap dapat terjadi.

Saya semakin agak sulit mengerti ketika seseorang dari kementrian pendidikan turut berkomentar ; bahwa guru pemberi PR ini harus ditegur, karena apa yang dilakukan tidak sesuai dengan prinsip kurikulum 2013. Beliau melihat bahwa cara berpikir siswa yang berbeda harus diberi apresiasi.

Persoalannya adalah apakah beliau telah mengetahui duduk persoalannya? Sebab bagaimanapun juga, guru memiliki acuan dalam memberikan penilaian berdasarkan pada tujuan dari pembelajaran yang ia jalankan. Dan nilai bagi saya bukanlah tujuan dari proses pembelajaran, tetapi siswa mengerti atau paham. Nilai itu bonus saja. Sebab menurut saya, jika pun siswa pada kasus di atas tersebut dapat nilai seratus; karena semua jawabannya benar, dan hasilnya juga diunggah di dunia maya, juga pasti akan menimbulkan perdebatan. Apakah guru tersebut juga harus ditegur? Tetapi saya juga sangat setuju dengan pandangan bahwa hasil siswa tersebut harus diapresiasi. Dan guru wajib hukumnya mengkoreksi, nah pada kasus ini saya juga belum tahu apakah guru tersebut telah melakukannya.

Realitas ini juga menyiratkan bahwa, nilai masih menjadi tujuan dalam belajar, sementara proses belum terlalu menjadi perhatian. Ini sekaligus menjadi penjelas kenapa bimbingan belajar yang berorientasi pada nilai tinggi laris manis di masyarakat. Melihat hal ini saya jadi berpikir, sekolah tidak 'tuntas' membelajarkan siswanya untuk mendapatkan pengetahuan. Karena ternyata bimbel tidak saja mendukung proses, tetapi telah menjadi 'kebutuhan' agar nilai siswa bagus di sekolah.

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tuliskan, tetapi takut ngelantur dan menjauh dari konsep. Jadi untuk sementara saya cukupkan dulu.@

Keterangan

publish di Kompasiana pada 24 September 2014


Membangun Identitas Melalui PendidikanWhere stories live. Discover now