Sekolah Itu Mestinya Menyenangkan

32 0 0
                                    


Membaca gagasan Paolo Freire tentang guru yang merdeka dan Gordon Dryden dan Jeannette Vos dalam The learning revolution, saya membayangkan bahwa dunia pendidikan (persekolahan) itu manis dan indah. Karenadisitulah beragam kreativitas dibangun dalam suasana segar dan menyenangkan, sebuah kebebasan berpikir tanpa tekanan. Dan masih banyak lagi, yang apabila berkaca pada proses pendidikan persekolahan di negeri ini, hal tersebut masih merupakan sebuah mimpi.

Dalam sebuah kesempatan membimbing penulisan essay, penulis menjumpai kenyataan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Siswa mengalami kesulitan ketika diminta untuk menuliskan berbagai realitas yang sedang terjadi di masyarakat. Mereka sering mengatakan tidak tahu, atau lebih tepat jika dikatakan mereka tidak peduli dengan hal-hal di luar sekolahnya. Sebab mereka telah diisolasi dan dipenjarakan dari realitas oleh sekolah. Akibatnya? Mereka gagap apabila diminta untuk merespon situasi yang terjadi di sekitar mereka menggunakan beragam teori yang mereka pelajari di sekolah. Ada gap antara apa yang diajarkan dengan apa yang terjadi di keseharian. Ilmu hanya sebatas untuk mendapat nilai.

Dalam proses belajar kesalahan bisa saja terjadi, asalkan semuanya dilakukan untuk menuju pada sesuatu yang benar.Untuk menjadi benar mesti tersedia cukup kesempatan mencoba dan kepercayaan. Sehingga melalui hal tersebut sekolah tidak sekedar menjadi tempat segudang rumus, dan hafalan-hafalan mati, tetapi juga sebuah tempat seseorang menjadi dewasa. Menjadi dewasa berarti juga siswa diberi kesempatan menilai apa yang terjadi di lingkungannya secara objektif. Karena pendidikan modern tidak lagi menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Pendekatan multidimensi mesti dikembangkan. Itu artinya beragam materi ajar mesti dihadirkan sebagai salah satu perwujudan dari pendekatan tersebut tanpa mesti ditunggangi oleh kepentingan apapun terkecuali semata kepentingan akademis. Artinya juga bangsa ini harus berani jujur pada generasi selanjutnya tentang apa yang telah terjadi.

Dunia pendidikan tidak boleh lagi mengasingkan anak didik dari dunianya.Kurikulum sudah seharusnya diarahkan pada kepentingan tersebut. Tetapi pengelolaan kurikulum melalui berbagai perubahan tanpa dibarengi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya, sama saja dengan mengotak atik judul tanpa bicara perubahan substansi. Itu pulalah yang kemudian menjadi problematika kurikulum2013.

Di saat begitu banyak pemangku dan pelaksana kurikulum 2013 masih kebingungan, kurikulum tersebut telah dilaksanakan secara nasional. Sebagian guru baru bisa memahami kulitnya, model administrasinya dengan ragam kerepotannya. Belum pada 'roh' dari kurikulum tersebut, yang sebenarnya mengarah pada tujuan-tujuan tersebut di atas. Masih ada gap antara keinginan dan kenyataan. Sehingga keberadaannya menjadi sangat dipaksakan, tidak natural.

Penulis jadi berpikir bahwa sistem pendidikan kita ini masih berada pada sistem pendidikan dengan manajemen paternalistik. Sebuah proses pembelajaran yang sama sekali tidak mendewasakan, karena segala sesuatu mesti menunggu petunjuk atau menggunakan satu acuan tafsir, alias penyeragaman. Bahkan untuk ilmu social yang sifatnya dinamis sekalipun. Para birokrat pendidikan dan yang berkepentingan lainnya memiliki kecenderungan mendikte, dan menekan, seolah lebih tahu ketimbang mereka yang berada di lapangan. Ada ketakutan di kalangan mereka kehilangan peran, meski tampak nyata bahwa tugas dan fungsi mereka terkadang mengada-ada. Sehingga lembaga pendidikan di negeri ini seolah telah menjelma menjadi lembaga kepentingan, ketimbang sebuah lembaga pencerdasan dengan wacana akademis.

Ironis apabila sekolah yang semestinya menjadi pelopor perubahan menjadi sebuah lembaga yang paling resistanterhadap perubahan. Persoalan-persoalan formalistik lebih mengemuka dan menjadi keharusan ketimbang bicara tentang kedalaman materi, profil lulusan apalagi filosofi pendidikan.Belum lagi berbagai tekanan psikologis senantiasa membayangi guru dan pihak sekolah yang bersumber dari para birokrat (guru jadi takut salah). Kalau kenyataannya demikian, bagaimana sekolah dapat menjadi sebuah tempat yang menyenangkan? Jadi setidaknya, jeda atas kurikulum 2013 yang telah diumumkan oleh pak menteri pendidikan beberapa waktu yang lalu memberi ruang bagi semua untuk berpikir mendalam.@


Keterangan

publish di Kompasiana pada 14 Desember 2014

Membangun Identitas Melalui PendidikanWhere stories live. Discover now