Pendidikan Pancasila; Mendekatkan atau Justru Menjauhkan dari Esensi

27 0 0
                                    


Membicarakan Pancasila sebagai ideology Negara, saya teringat dengan penjelasan guru PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dulu sewaktu duduk di bangku sekolah. Penuh optimisme akan masa depan Negara bangsa ini, beliau menjelaskan bahwa Pancasila diambil dari nilai-nilai yang sudah berakar dari masyarakat Indonesia sendiri. Dengan kata lain, Pancasila adalah produk local, 100 % Indonesia.

Ini artinya, kakek, nenek, bapak dan ibu saya, sudah menghidupi nilai-nilai Pancasila meski tanpa pernah belajar PMP. Bahkan dari apa yang mereka hidupi itulah, Pancasila coba dirumuskan. Itu juga berarti pada tataran real, mereka para pendahulu lebih 'gape' mengamalkan Pancasila, meski tidak pernah tahu bahwa itu adalah Pancasila pada hakikat sesungguhnya. Jika memang Pancasila diambil dari nilai yang sudah dihidupi oleh penduduk negeri ini, tentu tidak perlu ada klaim yang menyatakan bahwa ada kelompok yang Pancasilais dan yang lainnya tidak Pancasilais. Lalu pertanyaannya kemudian adalah ; lantas untuk apa lagi pendidikan Pancasila di berikan ? Toh, hal tersebut sudah melekat pada kehidupan masyarakat !

Pendidikan, tidak pernah lepas dari kungkungan kepentingan. Siapapun pelaku dan penyelenggaranya, sama saja. Sehingga menurut saya, tidak ada gambaran proses pendidikan yang paling ideal, semuanya serba tergantung ; untuk apa pendidikan itu di selenggarakan. Termasuk mata pelajaran apa yang mesti diberikan, tidak terkecuali Pendidikan Pancasila.

Pancasila sebagai milik bersama, prilaku alamiah setiap warga bangsa, ketika diambil sebagai falsafah pada tataran teks dan symbol ternyata kepemilikannya kemudian menjadi monopoli kalangan elit. Sehingga belajar Pancasila, tidak lagi pada prilaku rakyat jelata dan bergaul di masyarakat untuk hidup bersama, namun duduk, diam dan mendengar penjelasan para penatar structural dengan jenjang kepangkatan tertentu. Kebenaran tafsir dan bagaimana menghidupinya, sepenuhnya milik mereka. Di luar itu, bukan Pancasila. Tetapi sosialis, ekstrim kanan dan lainnya. Dunia persekolahan juga tidak bisa menghindar dari realitas tersebut. Pancasila menjadi doktrin, yang mesti diterima begitu adanya. Padahal roh Pancasila itu bukan teks, tetapi kehidupan.

Pancasila menjadi sesuatu yang asing di tengah-tengah para aktornya, sebab dituturkan menggunakan wacana, bukan prilaku. Menjadi warga harus begini dan begitu, padahal begini dan begitu adalah bagian dari keseharian. Sehingga Pancasila dihadirkan sebagai sesuatu yang dituju bukan sesuatu yang harus dijaga bersama. Seperti menunjukkan jalan pada mereka yang sebenarnya berjalan pada arah yang sebenarnya. Bukan berjalan bersama, karena dalam perjalanan selalu ada jarak antara para elit menunjukkan jalan dengan rakyat jelata yang sedang berjalan. Rakyat jelata jadi terasing dengan langkahnya sendiri, tidak lagi kenal pada pilihan-pilihan benarnya sendiri.

Kini Pendidikan Pancasila di sekolah seperti berjalan sendiri, sunyi. Teks dan wacana-wacana ideal selalu dibenturkan pada realitas social. Keteladanan prilaku menjadi sesuatu yang sangat langka, kalaupun ada satu dua, pelakunya tidak lama bertahan dalam pusaran kekuasaan. Tergeser, itu pun jika beruntung tidak dibumikan. Musuh, bukan lagi mereka yang berdiri berhadapan dan berkacak pinggang. Tetapi mereka yang secara kontinyu berteriak lantang, Pancasila, satu, ketuhanan yang maha esa, dua dan seterusnya! Pengkhianat, bukan lagi pengusung ideology komunis, sosialis atau entah apa lagi, tetapi mereka yang mengaku Pancasilais untuk kepentingan pribadinya. Lantas, bagaimana Pancasila kini mesti diajarkan? Mestikah itu ditanyakan pada rumput yang bergoyang ?


Keterngan

Publish di Kompasiana pada 30 September 2015

Membangun Identitas Melalui PendidikanWhere stories live. Discover now