"Kak Lenna," panggil Rello kepada seorang perempuan yang sedang celingukan di depan motornya terparkir. Ini sudah jam pulang, tadi Rello melihat Lava dan Ditha sedang berjalan bersama keluar sekolah. Tadinya mau Rello kejar, tapi menurutnya untuk sekarang adalah kehadiran kakaknya yang harus ia pertanyakan terlebih dahulu.
"Rello," sapa kakaknya lalu memeluk adiknya, aneh, sudah seperti lama tidak bertemu. Padahal baru saja kemarin Rello mengantar kakaknya pulang kerumah ayahnya.
"Ngapain?"
"Ke kantor bentar, disuruh sama papa,"
Rello mengambil helmnya dan menaiki motor, "Kakak naik apa? Gue cuma bawa helm 1,"
"Aku gak usah pake helm gapapa, deh. Udah ayo buruan," Lenna langsung menaiki motor Rello, membuat guncangan keras yang membuat Rello terkejut. Lenna langsung melingkarkan tangannya di pinggang Rello dan bersandar. Mungkin kalau orang melihat mereka akan dikira sepasang kekasih.
Saat melewati pagar sekolah, Rello melihat Lava sendirian di pinggir jalan seperti sedang menunggu sesuatu. Coba saja ia tidak harus ke kantor sekarang, pasti Rello akan mengantar Lava pulang. Lava menoleh dan Rello tau, Lava melirik pegangan tangannya Lenna di pinggang Lava, tapi Lava langsung membuang muka saat Rello menatapnya.
Bisa-bisa Lava salah paham. Eh, tapi bukannya Lava tidak peduli sama sekali terhadap Rello?
***
"Papa," sapa Rello begitu masuk keruang ayahnya. Bingkai foto Ardi dan Lenna yang besar terpajang sempurna di dinding sebelah kanan, alat tulis tersusun rapih di meja Ardi, bau yang segar menusuk indra penciuman Rello, bau khas ruangan ayahnya.
"Duduk, Rel," suruh ayahnya. Rello segera duduk di samping Lenna, di depan Ardi. Perasaan Rello tidak enak, sepertinya akan ada sesuatu.
"Kenapa, pa?"
"Papa cuma mau mengajak kamu ke Australia," ucap Ardi singkat. Banyak pertanyaan langsung muncul di kepala Rello. Untuk apa? Dalam rangka apa? Ada acara? Pindah sekolah? Kuliah di luar negeri? Baiklah yang terakhir agak ngarep, tapi bisa saja.
Rello hanya mengangkat alisnya dan berdeham minta penjelasan.
"Papa ngadain kerjasama bareng satu perusahaan disana buat satu proyek penting. Isi detail tentang proyeknya ada di dokumen yang udah papa kasih ke kamu. Nah kita disana bakal ngedatengin meeting dan bahas soal proyek ini. Kamu udah baca belum?"
"Belum, pa. Maaf, Rello kemaren-kemaren sibuk sekolah," ucap Rello.
"Baca ya nanti. Kira-kira kamu bisa gak ikut? Kita bakal berangkat minggu depan,"
"Berapa lama?"
"Sekitar 2 minggu,"
Sial. Lama banget. Pikir Rello.
"Papa sama Lenna bakal terbantu banget kalo kamu bisa ikut,"
"Rello kabarin deh ya, pa," ucap Rello. Namun ia teringat sesuatu, "Kenapa gak chat Rello aja ngomongin ini nya?"
"Lenna udah coba hubungin kamu dari jam 11, tapi kamu gak bales atau ngangkat telponnya sama sekali,"
Rello baru ingat sesuatu, "Sial, Rello lupa. Kemaren hp Rello disita mama,"
Ardi langsung mengangkat alisnya yang tebal, seperti punya Rello, "Besok papa belikan yang baru,"
Rello mengangguk, "Udah? Rello pulang ya,"
Ardi mengangguk dan Lenna mengantar Rello sampai depan kantor, "Rel, aku masih banyak kerjaan nih. Gapapa ya?"
"Gak ngaruh juga, kak. Lo kan gak nganterin gue pulang," ucap Rello.
Lenna terkekeh dan memukul pundak adiknya, "Ya udah, sana pulang. Jangan ngebut, hati-hati," perintahnya. Rello hanya mengangguk-angguk dan berjalan kearah motornya yang ia parkir tidak terlalu jauh dari pintu kantor ayahnya.
Rello teringat akan Lava, jadi Rello memutuskan buat melewati jalan sekolah dan memastikan Lava sudah pulang. Dan Rello mendapati muka cemas Lava yang terus-terusan melirik jam tangannya, jadi Rello langsung menghampiri Lava dan berhenti tepat di sebelah Lava dan membuka helmnya.
Begitu Lava melihat Rello, Lava langsung berniat pergi kedalam sekolah. Tapi Rello langsung menahan tangan Lava.
"Lava," panggil Rello, belum melepaskan tangannya.
Lava menoleh dan terkejut melihat Rello. Ralat, muka Rello. Ralat, pipi Rello. Bekas tamparan yang memerah terlihat jelas di pipinya. Seperti ada bintik-bintik merah yang mengumpul menjadi satu membentuk garis telapak tangan. Saat melihat itu, Lava tau alasan tadi Rello memakai masker di sekolah.
"Aku anterin yuk?"
Lava hanya diam, tetap fokus ke pipi Rello yang bisa dibilang membesar dan membengkak. Lava mencoba menutupi rasa ingin menyuruh Rello mengompresnya, tapi di dalam lubuk hatinya, Lava masih merasa bersalah tentang perkataannya di depan toilet tadi dan ingin meminta maaf. Tapi bisa-bisa besar kepala.
"Lava?" Rello melambaikan tangannya di depan muka Lava. Lava terkejut dan langsung menarik tangannya dari tangan Rello dengan mudahnya, sudah ia bilang, belakangan ini Rello menjadi seperti ayam yang lemah.
Rello sadar. Mau seberapa besar atau banyak ia mencoba meminta maaf kepada Lava, ia tidak akan dimaafkan. Lava adalah tipe orang yang sulit melupakan kesalahan dan memaafkan orang lain. Rello tau karena ia sering memperhatikan Lava.
Lava berjalan tak acuh ke dalam sekolah, membuat Rello gemas dan langsung turun dari motor, menggendong Lava, dan mendudukannya dengan baik di jok motornya. Lalu dengan cepat, Rello naik ke motornya dan langsung menjalankan motornya dengan cepat. Sehingga Lava tidak bisa turun. Otomatis Lava langsung mencengkram jaket milik Rello untuk menahan keseimbangan di atas jok motor.
Rello tersenyum simpul menerima sentuhan dari Lava, meskipun pastinya terpaksa dan hanya di ujung jaketnya.
Apa yang membuat Rello jatuh cinta kepada Lava begitu dalam? Jawabannya mudah, hanya karena satu orang. Pada saat itu. Saat dimana 'dia' meninggalkan Rello dengan alasan cliché.
"Mama kamu pelacur, bikin malu, tau gak?"
Dulu, Rello dan Magma.
***
Author's note:
Aneh ga sih kalo gua nyeritain cerita tentang Rello pake pov orang ketiga? Gua gabisa bikin pov cowok soalnya :(
Udah kebayang Magma itu siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavarello
Teen FictionDia yang selalu mengejar-ngejar gue, dan gue yang tidak terlalu memperhatikannya. Dia yang selalu ada buat gue, dan gue yang gak pernah ada buat dia. Dia yang selalu mendukung gue, melindungi gue dari jauh, bahkan membela gue, justru malah gue sala...