Hujan lagi-lagi mengguyur, kali ini derasnya bak ember besar yang jatuh di rekreasi air. Bukannya menentang kebesaran Tuhan, jujur gue penggemar berat rintikan hujan.
Tapi cuaca yang terlampau dingin ini bikin jemari gue terasa beku. Dan ini masalah besar, karena gue banyak kerjaan sekarang.
Gak lama, ponsel gue bergetar. Sebuah nama terpampang horror. Atasan gue nelpon, larut malam gini. Dia niat bikin gue susah tidur kayaknya.
"Cover untuk bulan Februari beres?" Sembur wanita dari seberang sana.
Ini manusia asal mana yang gak diajarin salam?
"Clear, Bu. Sekarang saya mau kerjain backdrop untuk Sammna goes to school," balas gue menyebutkan brand kerudung yang bekerja sama dengan kami.
"Bagus. Saya dapat info dari Dennis, kamu pegang Client Brief untuk festival. Nah, kamu pelajari laporannya, besok kita presentasikan,"
Daebak. Bu Lasti punya bakat rap juga rupanya. Sial bener si Dennis, gue kira tadi sore dia sekadar nitip laporan ke gue. Kalo ujung-ujungnya begini, gue hanyutin sekalian.
"Kamu bisa gak, Bel?!"
Sentakan nyonya ini otomatis membuat gue mengangguk.
Pintarnya, Bu Lasti mana liat gerakan gue. "Bisa, Bu." Di jawab enggak pun, dia bakal tetap maksa.
"Yaudah, saya tunggu hasilnya. Malam,"
"Ma-" trek. "Siap, dimatiin duluan."
Akhirnya, gue kembali pada laptop. Mengerjakan tugas gue sebagai tim kreatif di Hailseen Magazine. Juga merapikan laporan Dennis, yang siang tadi tiba-tiba melesat keluar kantor karena dikabarin istrinya yang melahirkan.
Jam menunjukkan sekitar jam 10 malam, terdengar ketukan pintu.Tanpa curiga itu perampok, karena tak mungkin ada rampok sesopan ini, gue mendekati pintu indekos.
"Malam," berdiri sesosok akang kasep dengan jas hujan melekat, membuka kaca helmnya. "Atas nama Abelis?" Dibacanya sepucuk bon.
Typo nama gue kebangetan! Tapi alih-alih ngomel, gue nanya. "Akang yang waktu di toko buku bukan?"
Biarin deh dia natap gue dengan bingungnya, tapi gue yakin gak salah orang. "Yang tempo hari, bantuin saya pungutin kuas-kuas yang jatuh itu," pancingku, seakan-akan berbicara dengan pengidap amnesia. Alisnya bertaut, keningnya berkerut tampak berpikir dengan gaya yang terlalu menggemaskan.
"Oh, tètèh tukang gambar ya?"
What?! Elit bener sebutannya. "Kok nyebut gitu sih,"
"Soalnya saya liat, kamu beli banyak sketchbook, sepaket cat air juga. Jadi ya, spekulasi saya gitu," jelasnya seraya membuka helmetnya. Dia mengacak rambutnya yang sedikit lepek.
Badhay rambutnya, sist. Hitam legam dan rambut yang sedikit panjang, kayak dia belum ke tukang cukur rambut 3 bulanan gitu. Squeeze-able abis.
"Oh, saya lupa." dia menjulurkan sebuah paperbag berlogo suatu cafè. "Ini pesanan, paket lembur, atas nama Dennis Sanjaya."
"Dennis?"
"30 menit lalu, kang Dennis—kebetulan dia teman saya, pesan delivery paket lembur, dia minta diantar buat teh Abelis." Jelasnya.
Baik juga si Dennis. Pasti karena anaknya dah brojol, hati nya berbunga-bunga sampai rela buka dompet. "Anyway, bukan Abelis. Tapi Abellya,"
Cowok yang gue gak tahu namanya ini, terkekeh manis. Duh, ambu.. Diabetes!
"Maaf, teh. Di pesannya diketik gitu,"
Maklum, Dennis kalau typo emang bikin emosi. Pernah karena dia salah ketik nama cafè buat meet up, akhirnya gue dan tim lain nyasar dan ngaret ketemu klien.
"Wajar sih ini Dennis yang ngetik," Gue terkekeh. "Mau masuk dulu?" Gak modus sih, hujan memang makin deras. Dewi batin gue mana tega.
"Gak usah, dah larut ntar diguyur tetangga." Dia mengulurkan bon dan pulpen. "Tolong tanda terima nya, Bel."
"Okay...?"
"Devan,"
Gue menahan cengiran lebar yang takutnya bikin dia kabur, gue kasih tanda tangan diatas bon.
Dan berkat kenekatan di bawah kesadaran, gue mengulurkan tangan. "Abellya Deora Sanchez."
Dia menjabat setelah memberi tautan alis. "Devanallen Gelion."
Pertemuan kedua, gue yakinin bakal hatam ulasan senyumnya.
Tak perlu bicara, saya mengerti apa arti senyum itu.
Ya, saya mengerti.
☕️☕️☕️A/N: Layak saya next?
KAMU SEDANG MEMBACA
Draw Him
Teen FictionSebuah sketchbook bersampul hologram menarik mata hazel itu. Dengan gesit, di raihnya satu. "Damn it." Karena terlalu buru-buru, beberapa buku lain di rak berjatuhan. "Untung cuma buku, bukan barang pecah ganti." Sepasang tangan terulur, memunguti...