Gue membalas pesan Dennis saat Devan memilah daging ayam, sesekali menggumamkan ciri-ciri ayam tiren.
"Ngapain lo?" Gue mendongak, saat tiba-tiba ada laki-laki dengan stelan baju basket menghampiri kami. Kece juga si akang, walaupun pakaiannya kontras dengan tempat.
Dia mengangkat keranjang belanjaan ditangannya, berisi sekantung daging. "Beli titipan Mami."
Dia melirik gue. "Siapa nih, A?"
Devan menoleh ke gue, meraih lengan gue untuk berdiri di sampingnya. "Kenalin, Abel."
Laki-laki ini smirking, lalu mengulurkan tangannya. "Andrian Leo Gelion." Dia menyebut nama lengkap.
Oh, saudaranya.
Gue menjabatnya. "Abellya Sanchez." Dia mengeratkan jabatan kami ditambah mata nya yang intens banget natap gue seakan tangkap basah seorang maling kutang.
Menyadari risihnya gue, Devan berdeham keras. "Andi, lepas."
Tanpa bersalah, Andi melepas dan menyugar rambutnya. "Bukan asli Bandung ya? Sanchez kedengaran asing."
Gue gak tersinggung, ini pertanyaan yang sering gue jumpai. "Ibunya asli sini, kalau Ayah dia lahir di Spanyol dan besar di Jakarta." Devan menjawabnya.
"Bener kan, kata gua, A? Spain has the sexiest girl in this earth."
Well, gue tersentuh akan pujian si Andi mata keranjang. Tapi kenapa setiap gue bercermin, yang gue temukan hanya bongkahan lemak bertumpuk yang hidup?
"Kok mereka bisa ketemu?"
"Jodoh gak ada yang tahu, kan." Ya kali, gue dongengin kisah Ferdinand dan Shanin disini. Bisa selesai 3x bulan purnama saking panjangnya.
Dia menyeringai. "Prinsip itu berlaku buat kita kali ya?"
Great. He looks like a pro-flirter. Seketika merosot sudah pesona nya di mata gue.
"Jangan pilih dia jadi calon mainan lu, ndi."
"Dia cewek lo, A?"
"Iya. Gak seneng lo?" Devan seenak jidat klaim gue gini. Gue kan jadi keenakan. "Gua duluan. Lu belanja yang bener," Devan menggandeng gue sekaligus menarik trolly kami menjauh.
"Dia adik gue," jelas Devan saat kembali berhenti di jajaran susu. Dia mengamati expired tiap kemasan.
Kakak-adik anak athlete, kalau Andi kelihatan anak basket, si Devan selain jago ngiris, juga jago nepis bola tenis.
"Adik angkat?"
Devan mengacak rambut gue, kali ini tersirat gemas. "Sayangnya, kandung. Umurnya 22 sekarang. 2 tahun di bawah lo,"
Berarti, beda 3 tahun doang mengingat umur Devan baru 25.
"Dia kerja?"
"Iya," paling kerja di restoran hotel, atau di– "Dia fotografer."
"Kok bisa beda gen?" Mendadak imajinasi sinetron gue keluar. Selain beda sikap, beda passion juga mereka. "Lo gak curiga dia anak tiri?"
Devan melirik dan tertawa, menoyor kepala gue dengan kotak susu dingin di tangannya. Otak gue kurang protein atau gimana.
"Gua lupa pelajaran genetika pas SMA, jadi gua gak bisa jawab pertanyaan lo." Devan tertawa jenaka. "Dari SMP dia emang suka dunia lensa, dan kamera pertama dia beli dengan tabungannya."
Wah, hati gue tertohok. Boro-boro nabung, apalagi beli kamera. Pas SMP jaman-jamannya gue kelayapan singgah ke mall-mall bareng geng anak perempuan pada umumnya, yang kalo nggak ke bioskop ya ke restoran cepat saji beli es krim dan numpang streaming berjam-jam.
Ah. Jadi kangen.
"Dia kuliah fotografi?"
"Dia ambil fisika murni,"
Nah, absurd lagi.
"Gua gak ngerti dengan pemikiran dia, dia merasa labil untuk ambil jurusan apa. Dia rasa fotografer itu gak menjanjikan, jadi waktu itu dia banting stir."
"Seperti kakaknya, dia baru sadar potensi dan dunia dia sebenarnya ada dimana setelah lulus kuliah." Devan mendorong trolly lagi, menuju bagian buah. "Singkat cerita, dia belajar otodidak menyelami fotografi, membentuk tim yang isinya teman-teman semasa SMA, dan jepretannya lumayan dikenal."
"Kalian gak lebih dari anak-anak labil yang habisin duit orangtua." Kuliah nya kamuflase gitu.
Devan tertawa lagi akan komentar abal-abal gue, kali ini gue jaga jarak dengannya. Takut dia khilaf lempar durian ke gue.
"Kedengarannya, dia sukses ya. Walaupun banyak tingkah orangnya," Frontal gue yang bikin Devan mendengus.
"Sukses sih, tapi populer dikenal fckboy juga." Devan terkekeh seakan menertawakan takdir punya adik begitu. Gue prihatin.
"Hampir tiap minggu, ada perempuan yang marah-marah datang ke No Gadget nyumpah-nyumpahin dia. Mereka curhat dan lampiasin emosi ke gua tentang kebrengsekan Andi yang datang-pergi gitu aja."
Devan memasukan jeruk terakhir yang ia pilih ke dalam kantung sebelum melanjutkan. "Gua harap dia cepet sembuh, siapapun itu yang bisa ngobatin dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Draw Him
Teen FictionSebuah sketchbook bersampul hologram menarik mata hazel itu. Dengan gesit, di raihnya satu. "Damn it." Karena terlalu buru-buru, beberapa buku lain di rak berjatuhan. "Untung cuma buku, bukan barang pecah ganti." Sepasang tangan terulur, memunguti...