Cookies

6 0 0
                                    

Selang beberapa menit, Devan meletakkan secangkir mocca di sisi laptop gue. "Harusnya gue juga larang orang lembur disini," Sindir akang-akang kasep asli Bandung ini.

Gue memicing. "Gak berguna lo segala pasang wifi."

Devan tertawa garing. Aneh memang. Dia sediain wifi di cafè yang dari namanya aja No Gadget. Katanya sih, selain dia sendiri bisa bebas streaming, dia mau memberi fasilitas untuk pelanggannya yang mengerjakan tugas.

Walau ada segelintir, misal cowok-cowok anak kuliahan depan meja gue yang justru pakai wifi buat streaming.

"Mestinya, lo tegur tuh cowok-cowok. Jangan-jangan nonton film blue," gue mengedikkan dagu ke arah meja empat mahasiswa yang fokus pada laptop.

"Santai. Mereka duduk di pojok, gak ada yang liat, dan gak berisik." Devan menyeringai mirip penjahat kelamin. "Anyway, Gigi ngasih tau gua web blue terbaik. Mau liat-liat?"

Sontak gue mencubit pinggangnya. "Mesum lo, njir!" Pekik gue, bego!

Beberapa pengunjung melihat ke arah kami, dan dari sudut mata gue lihat Jasmin menahan tawanya.

"Beleguk sia," Devan menelungkupkan wajahnya di meja begitu kelompok mahasiswa itu menoleh. "Gua bakal tuntut lu, kalau besok nama gua tercoreng mesum."

Harusnya gue ikut malu alih-alih tertawa receh. "Hati-hati cafè lo jadi ladang muchikari!"

"Rese lu! Jaga mulut kek!" Tiba-tiba ia membekap mulut gue sebelum malah ikut terbahak.

Gak berhenti disitu, gue menggigit telapak tangannya yang harum kopi itu. Gue gigit kok. Gak dijilat, sumpah.

"Wih, edisi bulan depan apa resep makanannya?" Devan mencuri pandang laptop gue yang menampilkan design halaman kuliner.

"Yah, kue kering gitu. Kan buat natalan  orang mau bikin cemilan," jelas gue yang direspon anggukan kepalanya. "Gua ke dapur dulu." Pamitnya sebelum beranjak menuju sudut cafè.

Gak tau sejak kapan, when a—really-cool-for God Sake— man says he wants to go to the kitchen, I feel something sparks inside me. Kayak ada kesemsem nya gitu.

Akhirnya kerjaan selesai setelah beberapa dekade, gue membereskan semua barang dan beranjak. "Bos lo masih di belakang?" Tanya gue ke Jasmin yang asik merapikan uang logam di kasir singgasananya.

"Iya, tuh. Paling lagi bikin menu baru,"

Menu baru? Tanpa bilang apapun, gue melenggang ke pintu staff only.

Devan memiliki dapur yang cukup luas di cafè ini. Walaupun namanya cafè, Devan menyuguhkan aneka menu seperti restoran pada umumnya. Dia menguasai segala jenis makanan, minuman, sampai dessert.

Diantara rak-rak besi berisi bahan makanan dan peralatan dapur, terdapat punggung itu. Yang dibalut celemek cokelat.

"Bikin apa?" Dia menoleh saat gue menghampiri.

"Bikin kue kering," Devan mengusap peluh di pelipisnya dengan punggung tangannya yang dilapisi tepung. "Buat xmas fair."

Gue mengangguk dan berdiri disampingnya. Ada beberapa wadah stainless berisi adonan matcha. Baru nyentuh salah satu adonan, Devan menepis kejam tangan gue. "Jangan sentuh! Nanti pelanggan gua keracunan. Lu kan bisanya jadi taster aja, jadi lu duduk disitu." Dia mengedikkan dagu pada kursi tinggi seberang meja konter nya.

Senajis itu kah tangan gue?

Gue hanya bisa menurut, duduk di bangku kayu itu tepat di hadapannya.

"Kue kering apa?"

"Suka almond kan?"

"Gak terlalu sih. Kenapa?"

"Enakan kismis atau almond?" Tanya nya balik, lagi. Memang begitulah hobinya.

"Tai kebo."

Devan mendelik. "Jangan ngomong jorok depan makanan, nona Sanchez."

Gue memutar bola mata, dan kali ini Devan menoyor kepala gue dengan tangannya karena kebiasaan buruk gue yang susah hilang ini.

"Rencananya, gua bakal buat kukis bergambar kartun. Kemarin ada anak kecil kesini, pas di kasir dia nanya Jasmin, ada cookies yang bergambar gak? Jadi bisa dibilang inspirasi gua dari dia," Jelas Devan. "Dia sama ayahnya kesini. Lucu, Bel. Mirip panda!"

"Anak orang lo katain binatang, parah sih." Gue mendengus.

"Emang mirip! Bulet, gembil, imut!" Ucapnya gemas sendiri.

Gue sendiri senyum-senyum. Iya, Dev. Kelak gue kasih lo panda-panda yang lo mau. Tunggu aja.

Devan berjalan ke meja di ujung mengambil pisau, lalu beralih ke kulkas mengambil kismis, memanaskan oven, mencetak kue kering, dan gesit melakukan hal lain. Sementara Devan asik berkarya, gue berdopang dagu memperhatikan.

Gue membuka halaman baru. Membuat sketsa baru, dengan model yang sama.

Senyum semangatnya, mata jeli nya, gerakan cekatan nya, lidah mencecap rasanya, celemek yang melekat gagah di tubuhnya. Semua siap di tumpahkan pada kertas kosong ini.

You look so charming in a different way. Exactly, good different.

Draw HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang