"Atta? Kamu baik-baik saja?" tanya Vino setelah mereka selesai rapat dengan klien penting. Vino membukakan pintu bagasi mobil dan menunggu Atta dengan sangat lambat memasukkan tas pakaiannya ke dalam sana.
"Sudahlah, masuk ke dalam mobil. Biar kurapikan semua barang-barang ini. Lagipula jelas sekali pikiranmu tidak ada disini," gerutu Vino saat tidak mendapati jawaban dari Atta.
Atta hanya menangguk sesaat sebelum beranjak dari tempatnya berpijak untuk masuk ke dalam kursi penumpang di sebelah kemudi. Ia sandarkan punggungnya ke jok, mencari posisi paling nyaman untuk merebahkan diri. Atta memutuskan bahwa tidur disepanjang perjalanan pulang adalah yang terbaik untuk mood-nya saat ini.
Matanya masih terpejam saat ia mendengar mesin mobil dinyalakan hingga mereka sudah bergerak masuk ke jalan utama.
"Kenapa kamu tidak marah saja padaku Atta? Dengan begitu aku bisa berdalih, meminta maaf, dan semua ketegangan ini berakhir," kata Vino memecah kesunyian diantara mereka.
"Aku tidak tahu harus melakukan apa Vin, marah pun aku tidak punya hak. Bagaimana pun ini masalah kalian bertiga. Aku hanya orang luar." Atta berbicara masih dengan mata terpejam. Sungguh percakapan ini tidak ada dikamusnya, ia masih kesal karena tidak juga mendapati kabar keberadaan Tirta. Apa pria itu sedang mempermainkannya? Ia sudah mencoba menghubungi nomor pria itu sejak bangun tidur namun tetap saja tidak aktif.
Hingga ia harus pulang dengan Vino pun, tanda keberadaan Tirta tidak juga ada. Hanya sebuah kertas memo yang diberikan pihak resepsionis padanya, itu pun hanya ucapan maaf dan pria itu akan segera menelpon.
Bukan sebuah upaya positif untuk membuat hubungan mereka berjalan. Apa itu semua hanya di kepala Atta lagi? Ia kembali bersemangat hanya untuk mendapati Tirta tidak ingin di ganggu? Sampai kapan polanya akan seperti ini?
"Itu hanya ciuman perpisahan Atta. Aku yang memintanya, dan memaksa Lea untuk membalas ciumanku. Karena dengan begitu aku bisa mengetahui perasaan Lea yang sebenarnya."
Atta kembali mendengar suara Vino yang sarat akan emosi, matanya terbuka untuk menengok ke arah Vino sekilas yang masih fokus menghadap jalan raya.
"Sudahlah Vin, aku tidak ingin membahasnya lagi," aku Atta diakhir, ia stress memikirkan Tirta dan kini Vino tidak juga berniat bungkam.
"Kamu juga tidak ingin mendengar jawabanku? Tentang Lea?" tanya Vino yang kini menoleh sepenuhnya untuk mengecek Atta dan melihat ekspresinya.
"Simpan saja untuk kalian sendiri, aku lelah bersikap peduli."
Atta sudah kembali mencari posisi tidur yang enak, saat pria itu kembali bertanya, "Apa maksudnya itu?"
Karena terlalu kesal, Atta kembali menegakkan tubuhnya dan memandang garang ke arah Vino.
"Apa kita benar-benar harus bicara saat ini juga? Aku lebih memilih tidur," tanyanya."Tidak sedikitpun takut Atta? Bagaimana pun aku pria. Aku bisa berbuat macam-macam dengan gadis yang tidur tanpa pertahanan."
"Oh come on! Kamu tidak akan berani! Lagipula kamu masih sangat mencintai Lea," Atta menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ketenangan yang coba ia buat sedari tadi lenyap karena 'Vino ingin bicara'.
"Iya! Tapi itu tidak merubah fakta kalau aku seorang pria."
"Do whatever you like, lalu kita berdua mati bersama. Terdengar menarik," gumam Atta yang kini memandang ke samping jendela.
"Karena pria itu bukan?" Atta mendengar pertanyaan Vino setelah cukup lama, bahkan ia kira percakapan mereka sudah berakhir.
"Kamu mengabdikan hatimu untuk satu orang, selamanya dan itu memuakkan. Membuatmu tidak bisa melanjutkan hidup"
KAMU SEDANG MEMBACA
SS#2-The Choice
Cerita Pendek11 Tahun berlalu dan saat ini mereka bertemu kembali. Sebelas tahun sudah Atta berhenti berharap akan pernah bertemu dengan pria dihadapannya lagi, Nattaniel Tirtayasa.