Empat

10.2K 1K 91
                                    

Awal perkenalan kukatakan bahwa aku hampir punya kelebihan yang nyaris sempurna, bukan? Tapi ternyata kenyataan itu tidak selalu benar, tidak sepenuhnya benar. Kini, takdir cinta menggiringku pada sebuah kenyataan yang menyakitkan. Cintaku dan Putri yang awalnya sempurna bak retak begitu saja hanya karena sebuah kenyataan menyakitkan. Entah datang darimana penyakit itu, yang jelas itu benar-benar menghancurkan senyum bahagia kami. Sekarang, kami hanya harus tersenyum palsu demi menutupi luka yang lain. Kami bak memeluk bom waktu yang entah kapan meledaknya.

Pernikahan impianku dan Putri telah maju seminggu dari perkiraan. Kini di penghujung bulan Januari 2015 tanggal 28, Putri telah resmi jadi milikku. Kami resmi menikah sore tadi walau dihiasi air mata. Dan malam ini, kami akan menggelar sebuah pesta resepsi megah tapi rapuh di sebuah hotel berbintang di Kota Malang. Walau awalnya banyak yang bertanya bingung, tapi terjawab ketika ayah mertuaku mengumumkan ke semua pihak. Bahwa Putri sakit dan harus segera menikah denganku. Itu jadi pengumuman yang menyakitkan bagi kami, tapi juga sebuah kenyataan.

Aku berdiri di ambang pintu jati ballroom yang sudah ramai. Para tamu sudah datang untuk menyaksikan prosesi resepsi kami yang kental dalam nuansa biru muda, warna kesukaan Putri. Para pasukan jajar pedang pora juga sudah bersiap dengan tegapnya. Telah kubalut tubuh tinggi ini dengan PDU-1. Istriku yang pucat dan kurus, Putri, telah berada di ruang yang lain di dekat ballroom. Ia telah duduk tenang di atas kursi rodanya. Semua tampak baik saja kendati kami menyimpan luka.

Awalnya aku sempat ingin menunda prosesi ini. Sebab kulihat Putri sudah tak kuat lagi berdiri lama. Tubuhnya yang ringkih sering bergetar hebat dan minta duduk. Sumpah, hatiku telah basah menangis melihat deritanya. Tapi, bibir tetap kupaksa tersenyum agar ia kuat. Ya, dia sangat kuat memacu semangatnya. Ia benar-benar ingin tampil seperti wanita yang sedang berbahagia.

“Putri hanya ingin mengenang sakit ini dalam keadaan tersenyum dan bahagia, Mas,” ujarnya siang tadi yang langsung kubalas dengan pelukan. Kata-kata itu sangat menyakitkan di hari bahagia kami.

“Tidak, kumohon jangan melarangku berkata seperti itu Mas. Putri benar-benar bahagia walau keadaannya seperti ini. Ini adalah momen terindah dalam hidupku. Makanya aku takkan menangis kesakitan. Kelak, kenanglah sakit ini dalam senyuman ya Mas? Mas tidak boleh bersedih,” timpalnya lagi yang membuatku tak lagi bisa bicara.

“Sa, sudah siap?” sebuah suara memecah lamunan sedihku. Kutoleh asal suara dan mendapati ibu mertuaku tersenyum pilu sambil mendorong kursi roda Putri.

Aku tersenyum hangat walau hatiku dingin, “saya sudah siap, Bu. Apa kamu siap, Dek?” alihku pada Putri.

“Aku sudah siap Mas,” jawab Putri tegar. Aku mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri dari kursi roda.

“Yakin tidak mau mas gendong saja?” ulangku lagi. Ia menggeleng dan tersenyum jenaka.

“Mana ada pedang pora digendong, Mas? Jalan dong!” jawabnya semangat. Aku tak tega meremehkannya.

Akhirnya aku hanya bisa menurut pada kata-kata Putri. Aku tak lagi meremehkan kekuatannya. Kini kupercaya bahwa Putri sangat kuat menjalani kesakitannya ini. Kugenggam tangannya sekuat mungkin. Kulitnya terasa dingin dan sesekali tremor.

Kini, kami sudah berdiri berdampingnya. Sebagai pasangan suami istri yang sempurna. Perlahan musik klasik Beethoven’s 5 Secrets mulai berhenti dan terganti dengan alunan tambur militer. Suasana mulai berubah. Sesekali aku melirik wajah cantik rembulanku.

“Dek, kalau kamu gak kuat, kita bisa naik kursi roda saja,” responku ketika melihatnya pucat dengan keringat dingin.

Ia menggeleng kuat, “jangan Mas. Nanti mas malu punya pengantin sepertiku. Aku ingin tampil sempurna di depan semua orang sebagai istrimu.”

“Kamu bercanda, Dek? Ya gaklah Sayang! Mana mungkin mas seperti itu,” ujarku sambil tersenyum pilu.

“Ya udahlah. Mas percaya sama kamu. Tapi kalau kamu gak kuat, cengkram tangan mas kuat-kuat ya? Mas langsung gendong kamu!” imbuhku tegas. Ia mengangguk kuat. Baiklah, prosesi menyakitkan sekaligus membahagiakan baginya ini dimulai juga.

Kami berjalan perlahan di bawah jajaran pedang yang teracung ke udara. Menikmati alunan musik militer yang menggema tegas mendirikan bulu roma. Menikmati suara nyaring jepretan kamera dan kilatan lampu silaunya. Wajahku datar seperti biasa ketika sedang berseragam. Sementara itu, pegangan tangan Putri di lenganku terasa kuat. Ia terlihat mengeluarkan semua kekuatan yang dimilikinya demi malam ini. Hingga langkah terakhir, ia masih bisa tersenyum demi mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Aku hanya bisa melirik wajah cantiknya, pucat berusaha berseri dan lemas.

Hello Moonlight/EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang