Lima

9.7K 1K 67
                                        

"Esok, belum tentu Putri bisa menikmati malam bersamamu."

"Aku gak apa-apa, Mas. Cuma sakit, dikit. Berasa digebukin sama orang sekompi."

"Mas harus janji sama aku, mas tidak boleh marah kalau kita membahas tentang perpisahan. Mungkin memang itu yang terbaik buat kita."

"Mas Aksa, aku tahu waktunya gak banyak. Aku rasa semua sudah dekat mas. Bukannya aku menyerah, tapi aku lelah. Semua ini sangat menyakitkan. Kulitku sudah mati rasa karena terlalu banyak kemasukan jarum. Aku kasihan sama badanku."

"Iya, Mas. Putri tahu itu sangat bahagia. Tapi, seandainya saja, seandainya kebahagiaan bukan akhir kita, mas harus tetap tersenyum ya? Sebab Putri juga akan pergi dengan senyuman. Sebab Putri sudah bahagia pergi sebagai istrimu."

"Mas harus semangat dan tak boleh menangis lebih dari semalam. Janji sama aku ya?"

"Badanku hanya berpindah tempat mas. Cintaku tetap di hatimu, selamanya. Jangan menangisiku terlalu banyak ya, Mas? Aku gak mau mata mas sakit."

"Nantinya, mas harus bisa bertemu wanita baik yang lain."

Suara-suara manis terakhir milik istriku masih terngiang jelas. Serasa ia berbicara di dekat telingaku saat ini. Padahal tubuh indahnya tak di sisiku lagi. Ia telah dibaringkan tempat istirahatnya yang terakhir. Tertidur dengan damai tanpa sakit lagi. Meninggalkan kenangan indah dan pahit di antara kami yang ditinggal ini. Memang, ia telah pergi dengan senyuman tipis di balik masker oksigennya. Ia benar-benar pergi dengan senyuman, padahal itu sakit.

Dengan pelan, kutaburkan kelopak bunga mawar merah putih di atas pusaranya. Kulirik batu nisan bertulis nama 'Putri Purnamaria Kirana, Malang 1 Desember 1992'. Nama yang sangat indah yang pernah kusebutkan. Seindah orang dan kenangannya. Sayup kudengar tangisan seru dari ibu mertuaku yang acapkali pingsan. Pasti ini berat bagi beliau yang telah melahirkan istriku itu. Ekspresi sama juga ditunjukkan oleh adik iparku yang jauh datang dari Surabaya. Ia memang sedang menempuh pendidikan di AAL, Bumimoro.

Aku? Berusaha tegar dan kuat kendati batin dan hatiku tak berbentuk lagi. Mereka sudah remuk redam karena perpisahan alam ini. Hanya satu yang tersisa di dalam sana, cintaku pada Putri yang tak pernah lekang. Sama seperti janjiku, aku hanya ingin tegar dan tersenyum ketika melepasnya. Samar kuingat wajahnya sesaat sebelum dikafani, ia tersenyum tipis dalam dekapan selimut terakhirnya. Seolah bahagia karena telah meninggalkanku dan tak sakit lagi.

Siapa yang sangka kalau malam pengantin yang sedianya indah malah berakhir tragis di rumah sakit. Bahkan keesokan harinya, Putri meninggalkanku selamanya. Siapa yang sangka percakapan menyakitkan itu jadi yang terakhir. Siapa yang sangka kalau pertengkaran itu jadi yang terakhir. Siapa yang sangka kalau ciuman sebelum aku dinas itu jadi terakhir. Bahkan, mungkin Putri sendiri juga tak menyangka.

Hingga dengan berani ia mengatakan wasiatnya. Bahkan, semua kata-katanya adalah wasiat. Aku tak boleh menangis lebih dari semalam, aku tak boleh bersedih terlalu lama, aku harus melepasnya dalam senyuman, bahkan aku disuruh bertemu dengan wanita baik nantinya. Bagaimana bisa aku menepati semua wasiat itu bersamaan? Bisa gila aku! Kehilangan terbesar tapi aku disuruh baik-baik saja. Itu sangat mustahil.

"Yang sabar ya Mas Aksa?" ucap salah satu pelayat sambil menyalamiku.

"Siap!" jawabku tegas, sebab beliau adalah komandan batalyonku.

"Kami turut berduka cita. Semoga sekeluarga diberikan kekuatan."

Ucapan sebagian besar pelayat terdengar sama. Semua ikut berduka dengan kepergian istriku. Kecuali matahari pagi pukul 8 yang terasa hangat. Alam terlihat menerima Putri dengan bersahabat. Sama seperti pesan terakhir, ia ingin pergi dalam keadaan bahagia. Benarkah memang ini yang kamu inginkan, Dek? Sudah bahagiakah kamu sekarang?

Hello Moonlight/EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang