Minggu pagi, aku lepas dinas dalam. Suntuk di mess, memutar otak memilih apa yang harus kulakukan. Si mobil waktunya servis bulanan, tapi aku malas pergi ke bengkel. Mau mengisi perut, tapi kantin sedang tutup. Mau masak sendiri juga malas. Maklumlah bujangan. Ini juga yang membuatku ingin segera menikahi Putri. Agar ia bisa merawat bujangan sepertiku ini.
Mendingan mencuci baju saja. Ah, kapan ya ada yang membantuku mencuci baju? Seperti Sertu Rofik, si pengantin baru itu. Bajunya selalu klimis dan wangi. Kalau aku sih, seingatnya saja. Toh kegiatan yang paling malas kulakukan semenjak jadi taruna dulu ya ini, mencuci dan menyetrika baju. Mau laundry juga malu sendiri karena sudah punya mesin cuci. Cuma, seragam kan paling anti kumasukkan mesin. Kenapa aku jadi senewen sendiri gini sih?
Ah, mungkin benar kata Putri. Ini dilema calon pengantin. Memang benar kalau sekarang waktu terasa begitu lambat. Aku sangat bosan menunggu 4 pekan ini. Kenapa tidak bisa di-skip langsung bulan depan saja sih? Aku ingin segera menjabat tangan Pak Satya, ayahanda Putri, calon mertuaku. Ingin segera kuhalalkan kekasihku supaya hidup ini tak terasa hambar dan itu-itu saja.
"Pasti lagi bengong!" tebak Putri yang 100% benar. Dia menelepon saat aku asyik mengucek atasan doreng.
"Enak aja, nyuci ini Dek!" jawabku senewen. Dia terkikik puas.
"Huatcih!" terdengar suara bersin dari seberang, "ooh, srek-srek, kirain lagi malas-malasan di depan TV."
"Kamu flu ya?" tanyaku cemas. Ia seperti memasang suara santai.
"Biasa Mas. Musim pancaroba makanya kena flu," jawabnya santai. Sudah kuduga.
"Jangan dibiasakan. Kamu itu jaga kesehatan dong, Dek. Kita mau nikah loh, 4 minggu lagi Dek!" dia tertawa geli.
"Aduh Mas, flu itu seminggu juga sembuh. Tenang aja kali, Mas. Putri pasti jaga kesehatan buat Mas," jawabnya menenangkanku.
"Oh ya udah. Kalau gitu sekarang istirahat aja. Mas mau lanjut nyuci," alihku sambil membenarkan headset.
"Jalan yuk, Mas? Putri bosan di rumah," ajaknya santai. Yakin nih? Kami kan dalam status pingitan.
"Yakin? Dipingit loh, Dek. Kamu jangan bandel ya!" aku menceramahinya.
"Gak kok! Putri kangen sama Mas Aksa. Jalan yuk!" ulangnya sekali lagi.
Aku menghela napas berusaha sabar, "Dek, tradisi jangan dilanggar ya? Tapi kalau kamu maksa, mas bisa apa. Tunggu di depan gang ya? Daripada mas diomeli ibu."
"Hehe, siap Mas! Cepetan gak pakai ngaret ya?" ujarnya berhati-hati.
"Siap Cinta! Duh kamu ini bandel-bandel nggemesin," putusku sesaat sebelum telepon terputus.
Ya minggu ini tak hambar seperti yang kupikirkan. Entah karena apa Putri tiba-tiba menunjukkan kebandelannya. Ia mengajakku bertemu di tengah status pingitan kami. Mau dikata apa kalau itu kalah dengan rasa rindu. Toh kami juga tak akan berbuat aneh-aneh. Aku sangat mencintai Putri dan ingin menjaga kehormatannya hingga kami resmi. Aku kan lelaki sejati.
Oke sip, aku gegas mematut diri. Memilih sepotong kaos katun warna salem dan celana jins pendek warna biru dongker. Rambut tipisku hanya kuberi minyak supaya tak kelihatan kusut. Wajahku kuoles dengan pelembab ber-sunblock. Tangan dan kaki juga kuoles handbody supaya tak kusam. Tak lupa beberapa semprot parfum hadiah dari Putri kupakai. Sip, sudah rapi jali dan gak kebanting kecantikan Putri.
---
Aku tersenyum sendiri sambil meminggirkan mobilku. HRV hitam ini berhenti di depan sebuah rumah dinas Danrem 083, rumah dinas ayah Putri, Pak Satya calon mertuaku. Belum kukatakan ya kalau Putri adalah anak sulung dari Kolonel Inf. Satya Prakasa, Komandan Korem 083/Baladhika Jaya. Entah karena takdir apa, aku segera mempersunting putri salah satu perwira menengah di kota ini. Takdirku sungguh sempurna, bukan? Status yang kumiliki ini adalah impian prajurit manapun sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Moonlight/End
Romantizm#SEBAGIAN PART DI-PRIVATE!# Kata orang, hari-hari menjelang pernikahan adalah hari penuh cobaan. Angkasa Langit Wiradhika, seorang tentara muda yang sedang jatuh cinta pada Putri Purnamaria Kirana, wanita penuh filosofi dan hidup bak di drama romant...