Mila, sang pemilik nama dari gadis yang melangkahkan kaki menuju kota. Untuk apa? Seperti rutinitas tiap minggu, ia datang ke tengah kota.
Kakinya mengarah ke sebuah telepon umum, salah satu telepon umum yang tersisa terletak paling dekat dengan kost, tempat berteduh selama dua setengah tahun terakhir ini. Jam yang melingkar di tangannya baru menunjukkan angka sembilan lebih lima menit. Ini rekor terbarunya berjalan hanya lima menit sampai, biasanya paling cepat sepuluh menit lewat lima belas detik.
Namun, ada yang berbeda pagi ini. teleponnya? Tidak, masih utuh tak berpindah tempat. Biaya bertelepon naik? Tidak juga. Lalu apa? Mila melihat sosok ibu-ibu itu lagi. Ia berjalan mendekati ibu-ibu itu yang sedang duduk di bawah pohon akasia, seperti yang lainnya menununggu giliran menelepon.
"Pagi Buk," sapa Mila sambil tersenyum
Ibu itu tidak menjawab salamnya, bahkan dia sengaja mengalihkan pandangannya menuju jalan raya yang sedang macet-macetnya. Mila terdiam saja, lalu duduk di sebelah ibu-ibu itu.
"Buk sudah lama?" tanya Mila sopan
"Bak, Buk, Bak, Buk emang aku ini babumu?" jawab Ibu itu pedas
"Loh saya harus memanggil Anda bagaimana? Bude? Tante? Ibu? Kakak? Nyai?" jawab Mila disertai tawa kecil
"Berani-beraninya ya kamu! Dasar kupu-kupu malam biadab tak tahu diri!" jawab Ibu itu, kemudian mengangkat tubuhnya, berpindah ke tempat duduk lain di samping ibu gendut berkacamata.
Mila terdiam membisu. Ia bingung, apa dan di mana letak kesalahannya. Baru kali ini ada seseorang yang menyebutnya dengan kata sekasar itu. Belum pernah bahkan selama dua puluh satu tahun riwayat hidupnya. Entah ada angin apa? Apa dia dalam kondisi hati yang tidak bagus? Apa salahnya menyapa sesame penunggu telepon? Mila terus menerus bertanya pada dirinya sendiri.
Baru kali ini ia menyapa ada yang mengatai sekasar itu, lebih tepatnya merendahkannya.Beberapa orang penunggu di sini memanggilnya Nyonya Meri. Fakta itu murni bukan gosip terbukti setelah mendengar perbincangan publik dua hari kemarin. Suaminya merupakan Kepala Dinas Telekomunikasi dan Informasi di kota ini. Nyonya Meri termasuk kalangan terpandang bagi para penunggu telepon itu. Karena berkat Tuan Meri, telepon di sini masih ada.
"Maaf Buk, ehh maksud saya Nyonya Meri." ucap Mila halus, mencegah adanya pergulatan emosi di hati Nyonya Meri. Tapi orang yang diajak bicaranya hanya diam. Seolah-olah perkataan Mila hanya angin lalu.
Kemudian Mila mendudukkan dirinya di samping kanan Nyonya Meri. Kebetulan bangku antrean masih kosong. Ia mengalihkan tatapannya menuju jalan yang berjarak kurang dari tiga meter setengah di depannya.
Cuaca pagi ini terbilang mendung. Sebagian matahari tertutup oleh awan cumulus. Angin berembus sepoi-sepoi, rambut yang dibiarkannya tergerai begitu saja menari-nari mengikuti arahnya angin.
"Kau gadis-kupu-kupu malam biadab kemarin 'kan?" tanya Nyonya Meri meralat perkataan yang keluar dari mulutnya barusan
"Yang menelepon keluarganya dari pedalaman? Ahh siapalah itu, aku tak tahu menahu." sambung Nyonya Meri
"Ada apa Nyonya?"
"Ah kau ini selalu saja sepeti itu. Anak zaman sekarang tidak ada yang mau mengakui kesalahannya." ucap Nyonya Meri kemudian disusul decakan kasar
"Sebentar Nyonya, bukannya saya bertemu Nyonya baru satu kali minggu itu?" Mila berusaha mengingatnya, sementara Nyonya Meri terdiam. "Benarkan? Lalu apa salah saya?"
"Kau ini ya, keledai dungu tidak tahu diri! Memalukan! Lalu bertelepon selama sepuluh menit dengan kerabat kampungan itu lama sekali. Kau tak lihat, berapa orang di belakangmu yang mengantri kemarin? Oh iya, matanya kan untuk maksiat. Hahaha." sindir Nyonya Meri dengan tawa merendahkannya
"Maaf Nyonya. Saya bertelepon sepuluh menit itu dikategorikan sebentar. Saya biasanya malah lima belas menit, tidak ada yang memprotes saya. Jadi-" ucapan Mila terputus oleh suara decakan Nyonya Meri
"Dibilangin malah nglunjak, dasar kupu-kupu malam tak tahu diuntung. Kampungan!" bentak Nyonya Meri lalu pergi meninggalkan tempat telepon umum begitu saja
Semua orang yang sedang menunggu gilirannya terdiam, melongo dengan apa yang mereka saksikan barusan.
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang diam-diam mengambil video kejadian barusan.||||||||||||||||||||||||||||||||
J/N
Part 1, 1.1 - end (1) itu ceritanya Gadis Penunggu Telepon
Q : Kok pendek-pendek J?
J : Kan short story, Kalo panjang-panjang males bacanya. Emang sengaja nggak aku jadiin satu part, soalnya ini panjaaaang bet Hahaha.
Jadi aku potong-potong tiap ceritanya.Selamat menyelami omong kosong J!
Regards,
jjaswindwer 💃// 03.05.2018 //

KAMU SEDANG MEMBACA
BAGIAN
Short Story[ba•gi•an] Karena ini tidak semuanya yang akan dituangkan ke dalam wadah sebuah pemikiran yang membelenggu urat syaraf. Hanya sebagian saja, sudah lebih dari cukup. Silakan bereksplorasi menyelami dan memuntahkan bagian dari omong kosong ini. © Cop...