: 1.4 :

4 0 0
                                    

Hampir satu setengah jam lamanya Mila bercerita pada Jill, berdua saja di ruang itu. Mulanya Jill kaget, Mila datang ke ruang musik kampus yang jarang dipakai mahasiswa kurang dua menit setelah Jill tiba. Begitu menjabat tangan dengan Jill Mila langsung memeluknya kemudian sesenggukan. Menangis.

"Apa yang bisa aku bantu, Mil?"

Mila belum menjawab. Menyeka air matanya dengan tisu yang dibawanya dari kost. Mencoba menenangkan dirinya, lalu mulai tersenyum ke  arah Jill.

"Maafkan saya, mengganggu kuliah siangmu Jill. Saya memang tidak punya orang lain yang bisa saya percaya untuk mengadu, selain Jill. Hanya kamu."

"Silakan Mil, saya dengarkan baik-baik."

"Mas Kav semalam mengunjungi kost saya. Memberitahukan semuanya perihal telepon umum itu akan dimusnakhan. Lalu bagaimana saya bisa menghubungi Mak?"

"Kira-kira Mil, apakah berita itu benar? Sebenarnya saya tidak begitu tahu-menahu urusan telepon umum itu."

"Biasanya tidak ada permasalahan di antara para penunggu telepon. Hanya saja."

"Hanya saja apa Mil?"

"Ada ibu-ibu baru. Seminggu yang lalu dia datang. Seperti penunggu yang lain, dia juga mengantri menunggu gilirannya menelepon. Itu tiga bulan sekali pun jarang, ada ibu-ibu sepertinya mau datang ke telepon umum." jawab Mila sepertimengingat-ingat beberapa minggu terakhir

"Mila bertengkar?"

"Ah, tidak. Cuma lebih ke arah diam saja. Seperti meremehkanku. Aku tak begitu tahu-menahu tentang ini."

"Atau bertengar diam-diam? Bertengkar dalam hati maksudnya?"

"Lagi malas ngomong kali dia."

"Tentu ada sebabnya, Mil?"

Mila terdiam cukup lama. Sekitar lima menit. Sambil memainan jari tangan kirinya. Jill pun terdiam. Tampak sedang berpikir tentang sebuah kalimat yang pantas untuk melayani curhatan sahabat sejak kecilnya. Mila menarik napas panjang, seperti mau memulai gerakan senam aerobik yang sulit semasa SD.

"Waktu itu, saya bertelepon dengan Mak. Kau tahu lah itu. Kalau Mak sedang bertelepon denganku tak mau berhenti dia. Seakan-akan kita sedang berbicara panjang di atas ranjang menjelang tidur. Kau tahu persis Mak itu bagaimana. Selebihnya terdengar suara gunjingan tentangku. Saya tak tahu perihal itu. Padahal setahu saya orang-orang pada menyukai saya dan di antara kami tidak ada gunjingan pedas seperti minggu lalu. Semenjak adanya Nyonya Meri, sebutan dari orang-orang penunggu telepon untuknya."

Jill belum dapat menduga-duga akan ke mana arah pembicaraan sahabatnya itu. Dia tidak berani memotong. Membiarkan Mila bercerita panjang hingga usai mencurahkan seluruh isi hatinya.

"Kau tahu Jill, Nyonya Meri pernah mengataiku kasar kala itu."

"Lalu?"

"Dia mengataiku dasar kupu-kupu malam tak tahu diuntung. Kampungan. Dan apa kau pernah berpikir bahwa saya bukanlah gadis yang baik-baik, ah maksud saya seperti jalang? Itu sangat menyakitkan Jill dituduh sembarangan sama orang asing." terang Mila dengan suara kembali sesenggukan

"Sekarang Nyonya Meri masih mengataimu lagi? Tapi, mengapa?"

"Serius saya tak tahu Jill."

"Nah itulah akar permasalahannya." Jawab Jill lalu diam sejenak. "Saya punya ide."

"Ah, saya tak yakin dengan idemu kali ini Jill."

"Jangan meremehkan saya Mil. Jadi begini saja, bagaimana kalau kau berbicara baik-baik dengan Nyonya Meri. Kau bawakan parcel buah sebagai permohonan maafmu."

"Itu berlebihan." sanggah Mila cepat.  "Bagaimana bisa saya berbicara baik-baik dengannya?" tanyanya retoris.  "Saat saat hendak tersenyum menyapanya, dia langsung membuang muka sambil mengumpat kasar." sambungnya

"Baiklah. Lalu, apa hubungannya dengan pembongkaran telepon umum itu?"

"Entahlah. Aku pusing memikirkan ini."

\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\

J/N

Mila pusing.

Jill bingung.

Nyonya Meri? Lemparin aja ke neraka

Regards,
jjaswindwer

BAGIAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang