Tiga hari kemudian, situasi kembali berjalan normal. Namun, masih ada peraaan was-was di benak Mila. Ia amat tak rela bila pembongakaran telepon umum itu nyata, bukan gossip miring dari para penunggu telepon. Ia menelusuri akar penyebab masalah ini. Namun, nihil belum ada firasat pembantu.
Kemarin setelah pulang dari kuliah sore, ia kembali mengunjungi telepon umum. Seperti biasanya, bertukar rindu dengan kerabatnya di Jogja. Terpisahkan jarak beratus kilo meter dan waktu yang tak kunjung tiba untuk segera pulang ke kampung kelahirannya.
Di telepon umum, para penunggu telepon mebicarakan perihal penyebab dari pembongkaran ini. Banyak persepsi tentang ini. Kalau kata Bu Merah, "Mungkin Nyonya Meri tak mau menunggu." Pak Tomang berpendapat bahwa Nyonya Meri tipikal wanita yang tidak sabar. Sedangkan Mas Kav pendapatnya bisa diterima. Kata Mas Kav, "Kali saja Nyonya Meri menggunakan wewenang jabatan suaminya. Yang menjadi Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi. Benar kata Bu Merah dan Pak Tomang, Nyonya Meri itu tipikal wanita yang tidak mau menunggu, tidak sabaran, seenaknya menyalahgunakan jabatan suaminya. Bagaimana kalau kita bertiga ke kantor Dinas Komunikasi dan Informasi?"
Dan di sinilah Mila bersama Pak Tomang, Bu Merah, dan Mas Kav sebagai perwakilan dari penunggu telepon di Dinas Komunikasi dan Informasi. Hendak mengklarifikasikan masalah yang ditimpa kaum yang mengandalkan telepon umum sebagai alat komunikasi. Kebetulan juga di ruangan Tuan Meri ada Nyonya Meri yang sedang mengantarkan makan siang untuk suaminya.
"Selamat Pagi, Tuan Meri." sapa Pak Tomang memulai pembicaraan formal pagi ini
"Pagi, ada yang bisa saya bantu?" jawab Tuan Meri sambil mengalihkan panangannya dari tumpukan berkas ke wajah para penunggu telepon. Mengamati dari bawah ke atas, seakan menyeleksi calon akademi polisi akankah lolos ke ujian berikutnya.
"Jadi begini Tuan. Kami mendengar bahwa Dinas Komunikasi dan Informasi akan membongkar sebuah telepon umum di Jalan Mangkunegaran. Apa betul berita itu Tuan?" ucap Mas Kev to the point. Sementara raut wajah Tuan Meri langsung memucat, kaget.
"Benar lah. Itu telepon umum sudah tak fungsi baik. Buat apa dipertahankan kalau sudah mau rusak?" sahut Nyonya Meri dengan angkuhnya
"Lalu bagaimana nasib kami para penunggu telepon itu. Yang salah satunya sebagai alat komunikasi dengan kerabat kami. Apa Tuan sudah mempertimbangkan dengan baik-baik?" kali ini Mila yang bersuara
"Saya selaku Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi sudah menindaklanjuti kasus ini kepada pihak berwajib bahwasanya pembongkaran telepon umum itu sudah sangat tepat." terang Tuan Meri dalam satu tarikan nafas
"Alasannya apa?" celetuk Mila
Atmosfer di ruangan ini terdiam seketika. Bahakan hanya terdengar sudara detikan jam dinding di atas pintu masuk. Semuanya bergelut pikir tentang apa yang harus dijawab, dipertanyakan, dan keputusan akhir. Raut wajah Nyonya Meri tampak tegang berbanding terbalik dengan Mila yang sangat santai menghadapi masalah ini. Lebih menegangkan saat ditilang polisi.
Semuanya terdiam, benar-benar membisu. Hanya embusan nafas panjang dari masing-masing manusia di sini. Ketiga para penunggu saling tatap, seperti memberi isyarat lewat kontak mata. Sementara Tuan dan Nyonya Meri tampak gelisah.
Tiba-tiba pintu ruangan ini yang semulanya tertutup menjadi terbuka. Datanglah seorang bapak-bapak berpawakan tegap, sudah berkepala lima tampaknya.
"Pagi Tuan Meri. Ini berkas-berkas tentang pembongkaran telepon yang Anda minta." ucap bapak-bapak itu. Dilihat dari badge name tertulis Will, mungkin itu namanya

KAMU SEDANG MEMBACA
BAGIAN
Cerita Pendek[ba•gi•an] Karena ini tidak semuanya yang akan dituangkan ke dalam wadah sebuah pemikiran yang membelenggu urat syaraf. Hanya sebagian saja, sudah lebih dari cukup. Silakan bereksplorasi menyelami dan memuntahkan bagian dari omong kosong ini. © Cop...