Mila sebenarnya berusaha mengingat apa kesalahan dia kepada Nyonya Meri seperti kamus mengingat lema, namun tetap saja di saat-saat terakhir selalu saja terlupa sampai ada sebuah kata kasar yang terlintas di benaknya.
Minggu lalu dia datang, lalu menunggu giliran, kemudian menelepon Mak, tiba-tiba ada suara yang tidak pantas didengar, sebut saja gossip tak berfaedah tentangnya. Lalu? Pusing kali memikirkan itu. Memikirkan itu seperti mencari jerami di tumpukan jarum. Sakit."Bagaimana kalau aku ke telepon umum nanti?"
"Siapa sebenarnya Nyonya Meri itu?"
"Kapan aku bertemu dengannya hingga membuat kesalahan yang tidak aku ketahui?"
"Apa aku harus meminta maaf kepada Nyonya Meri? Tapi, apa salahku?"
"Kenapa dia seperti orang yang sok berkuasa?"
"Apa lagi umpatan pedas yang harus aku terima?"
Mila terus saja bermonolog sendiri di depan cermin lemari abu-abu miliknya. Lebih ke arah gila. Tiduran, duduk, berdiri, berputar-putar, kembali lagi, dan diulangi selama lima belas kali. Beberapa penunggu telepon juga menjauhinya-tepatnya mendiamkannya, mungkin pengaruh dari omong kosong Nyonya Meri.
Lagi-lagi buntu. Ia langsung menyambar jaket abu-abunya, melesat menuju telepon umum itu. Semisal pagi ini hujan, ia akan tetap memperjuangkan kebenaran.
Pagi ini telepon umum baru ada lima orang, tiga orang yang Mila kenal dekat. Sebut saja Bu Merah, ia suka memakai pakaian yang menyala, lipstik merah tebal. Sedikit tentangnya. Di samping kirinya ada Mas Kav, senior di kampusku. Orangnya lumayan, berkaca mata, sarkatis. Di depan Mas Kav ada Pak Tomang, tetangga Jill temanku. Sekilas sebagian dari penunggu telepon pagi ini. Kalau dihitung dari depan, Mila mendapat antrean keenam, setelah Mas Kav menelepon neneknya yang tinggal di Bringin.
"Mil, aku dengar kemarin kapan itu, kamu dibicarakan para penunggu?"
Mila malas menjawabnya, ia terlanjur sakit hati dengan perkataan yang berbanding terbalik dengan sifat dan perilakunya. Matanya memandang ke arah jalan yang mulai lenggang. Jiwanya entah melayang-layang ke mana, namun raganya ada di depan telepon umum. Biasanya ia tidak sesensitif ini, apa ini pengaruh hormone estrogen yang berlebih? Atau memang kata-kata yang terlontar dari wanita itu begitu pedas, tajam, dan menusuk?
"Hei Mila! Kau ini kenapa?" tanya Pak Tomang seraya menepukkan tangannya ke depan wajah Mila, yang membuatnya kaget, hampir terjengkang ke belakang.
"Pak Tomang ini, bisa tidak jangan mengageti saya. Kalau saya pingsan, bagaimana dengan tagihan lebaran dua tahun ke depan dengan Mak?" jawab Mila sedikit kesal.
"Tagihan apa? Hutang arisan? Kredit motor?" tanya Mas Kav sambil meminum sebuah botol air mineral yang dibawanya dari kampus.
"Gak. Itu lho, tagihan calon mantu buat Mak." jawab Mila lugas. Satu, dua membahanalah suara tawa pecah di antara penunggu telepn, kecuali Mila.
"Emang lucu ya Bu Merah?" tanya Mila dengan tampang polosnya.
"Banget malah. Cewek kekanakan sepertimu kapan mau nikah? Benerin jilbab aja belum becus, mau benerin peci lakinya." jawab Bu Merah yang disusul gelak tawa di antara mereka.
"Bu Merah mah gitu sama saya. Yang Anda lakukan itu jahat." ucap Mila dengan nada dibuat-buat sedang kesal, mulutnya mengerucut.
![](https://img.wattpad.com/cover/120996058-288-k992637.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BAGIAN
Short Story[ba•gi•an] Karena ini tidak semuanya yang akan dituangkan ke dalam wadah sebuah pemikiran yang membelenggu urat syaraf. Hanya sebagian saja, sudah lebih dari cukup. Silakan bereksplorasi menyelami dan memuntahkan bagian dari omong kosong ini. © Cop...