Pertama

1.1K 19 4
                                    

Pagi ini aku menyesap kopi pahit. Hasil karya Dewi terbaik. Menikmati aromanya. Sembari merasakan hangatnya mentari di atas sana.

Aku merindu. Padahal kita selalu bersama setiap waktu. Dalam do'a. Juga dalam hati yang mencinta.

*****

Jakarta, 02 Juli 2012

Aku masih saja santai, hari ini hari pertamaku sekolah di sekolah yang baru. Kenapa pindah? Mau cari jodoh.

Tentu saja bukan, ayahku membangun cabang perusahaan baru di kota ini. Hari ini, Senin pukul 7 pagi aku masih berada di minimarket. Aku membeli segelas kopi hangat. Untuk apa ? Di kota sebelumnya menyogok satpam dengan cara ini cukup berhasil.

Aku menaiki Si Jacky motorku. Menjadi bagian dari sekolah baru dan kembali beradaptasi itu sulit. Aku tahu.

Motorku membelah jalanan ibu kota yang padat. Asap polusi, knalpot bising, bis kota. Ini buruk. Kota sebelumnya tidak separah ini. Benarkah para pejabat tahan di lingkungan seperti ini ?.

Gerbang sekolah yang baru. Gerbang biru yang sudah di tutup setinggi mungkin 3 meter. Aku membuka kaca helm.

Seorang satpam menghampiriku.

"Ada keperluan apa Mas?" Tanyanya di seberang gerbang tanpa niat membuka gerbang.

"Saya murid baru disini Pak" jawabku.

"Bohong! Modus kamu!" Timpalnya tegas.

"Ini saya bawakan kopi Pak, saya memang murid baru" ujarku sambil mengeluarkan segelas kopi dari tas.

Satpam itu mengangkat alis. Aku turun dari motor. Menyodorkan segelas kopi yang masih hangat pada satpam itu.

"Kamu mau nyogok?!" Tegasnya.

"Hadiah perkenalan Pak" jawabku enteng sambil tersenyum.

Dia menerima kopi itu.

"Masuk!" Ujarnya.

Dia menyimpan kopi itu di pos dan kembali untuk membuka gerbang.

Malu-malu kucing nih si Bapak, jaim. Batinku geli.

Aku menaiki motor, memarkirkan dalam deretan kendaraan yang sudah seperti tempat lelang. Banyak dan padat.

Aku menuju pos satpam. Terlihat satpam itu menikmati kopi pemberianku.

"Permisi Pak, saya mau tanya kalo Pak Bardi itu yang mana?" Tanyaku santun.

"Selatan lapangan upacara ada ruang guru, bilang saja mau ke Pak Bardi" jawabnya masih asyik dengan segelas kopi tanpa menoleh.

Aku berterima kasih. Lalu, menuju selatan lapangan. Mencari plang "Ruang Guru" dan ketemu.

Aku mengetuk pintu besar yang terbuka itu.

"Permisi, saya mau ketemu Pak Bardi" ucapku entah pada siapa.

Seorang wajah menenangkan, beruban dan keriput menghampiriku.

"Ada apa Nak?" Tanya pria tua itu.

"Saya Dewa, saya mau ketemu Pak Bardi, Pak" jawabku sopan.

"Saya Pak Bardi, kamu anak Pak Dito ?" Tanyanya.

Aku mengangguk.

"Mari saya antar ke kelas" lanjutnya. Dia merangkul pundakku seperti seorang teman.

"Kenapa kamu baru datang jam 8 Dewa?" Tanyanya.

"Saya dari Bandung langsung kesini Pak terjebak di jalan" jawabku lancar ketika berbohong. Sedikit.

PHILOPHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang