Bab 1.1

16K 1.6K 65
                                    

Selamat membaca! Aku berharap kamu suka. Jangan lupa vote, comment, and share!

Instagram: @alsaeida08

"Diakah gadis itu?" tanya gadis berkemeja merah kotak-kotak sambil menyenggol siku teman di sampingnya.

"Kok masih pergi ke kampus, ya? Apa nggak malu?" timpal sosok yang disenggol tadi.

"Sungguh nggak nyangka. Padahal penampilannya seperti cewek baik-baik," ujar si kemeja merah lagi.

"Namanya Gebri Adinda, kan?"

TAP. Kaki Gebri refleks berhenti. Terpaku sejenak sebelum menghela napas panjang dan kembali melangkahkan kakinya. Mencoba tak menghiraukan. Sebenarnya dia sudah menduga—apalagi sejak melihat salah satu teman SMP-nya dulu yang menjadi panitia OSPEK—kalau berita itu akan terkuak, akan terungkap dari mulut ke mulut dengan sedikit bumbu-bumbu tambahan.

Namun Gebri tidak menduga akan secepat ini. Baru saja satu bulan berlalu sejak orientasi studi dan pengenalan kampus kepada mahasiswa baru dimulai. Hanya selang waktu dua minggu sejak berhadapan mata kuliah ber-SKS dan bertemu dengan para dosen yang mengampunya.

Kaki Gebri terus bergerak menaiki anak tangga menuju lantai dua. Ada mata kuliah Pengantar Akuntasi 1 hari ini.

"Geb!"

Gebri membalikkan badan saat suara familiar tertangkap telinganya. Dia mendapati seorang gadis berkacamata dalam balutan kemeja biru polos dan celana hitam pensil yang sedang tersenyum. Gadis itu sedikit berlari-lari kecil mendekatinya.

"Di ruang II-7, kan?"

Gebri hanya mengangguk.

"Yuk!" ucap gadis bernama Koning itu yang mendahului Gebri menapaki anak tangga.

Gebri bergeming. Kembali terpaku di tempatnya dan merasa sedikit aneh. Apakah Koning tidak menghindarinya? Atau berbisik-bisik seperti yang lain dan menyebut-nyebut namanya dengan berbagai spekulasi-spekulasi negatif, bukan dekat-dekat dengannya apalagi menyapa dengan santai seperti ini?

"Geb, yuk! Kita harus cepat, supaya dapat kursi di belakang. Aku sedang malas berada di depan." Koning melambai-lambaikan tangannya, menyuruh Gebri untuk segera menyusul.

"Kamu nggak malu jalan denganku?" tanya Gebri kala sudah berada di samping Koning, sesekali dia membetulkan letak tali tas ransel hitamnya yang hendak turun ke lengan.

"Memangnya kenapa?"

"Tentang kabar kalau aku—"

"Itu hanya gosip, kan? Nggak mungkin kamu seperti itu," potong Koning dengan cengiran khasnya yang menampakkan gigi gingsul sebelah kiri.

"Ehm, itu Fakta. Aku memang pernah...." Gebri tak sanggup melanjutkan kalimatnya, lidah ini mendadak seperti bertulang. Ditambah lagi dengan ekspresi ceria Koning yang sudah membias, Gebri semakin enggan untuk mengucapkannya.

Ah, mungkin inilah cerita masa-masa kuliahnya. Sendiri dan menjadi sosok yang kasatmata. Koning—gadis yang menjadi teman pertamanya sejak hari pertama OSPEK—pasti akan menjauh. Siapa juga yang mau berteman dengan sosok hina sepertinya, pernah melakukan kesalahan fatal di masa remaja, di usia lima belas tahunnya.

Huh! Gebri menghela napas panjang, lalu memegang pangkal hidungnya. Sedikit pusing.

Saat melanjutkan SMA di Solo, kisah tragis itu tidak terungkap sedikit pun. Masa SMA berjalan dengan lancar. Tapi kini situasinya sudah berbeda. Masa SMA berbeda jauh dengan masa kuliah. Di masa ini mereka bisa bertemu dengan orang-orang di belahan provinsi manapun, tak terkecuali kota Metropolitan itu. Pasti ada peluang kalau orang-orang pernah mengenalnya, bahkan mengetahui kisah kelamnya lima tahun lalu.

Seperti Bekas PakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang