Sebuah Keputusan dan Pertemuan

530 15 4
                                    

     Senja mulai ranum. Langit menguning menghantarkan sunset yang begitu indah. Sementara sang bulan yang anggun membulat penuh di peraduannya. Tapi gadis itu masih berdansa dengan kegelisahan berlatarkan senja yang cantik sore ini.

     Ia menikmati alunan angin yang merdu menyapa tubuhnya. Hanyut bersama dilema penuh bimbang. Pandangannya kosong menatap tanpa arah. Matanya basah menggenangkan air di permukaan kedua pipinya. Gadis itu memejamkan kedua matanya seraya membendung tangis yang semakin menjadi-jadi. Dadanya sesak. Napasnya berjarak sambil tersedu-sedu.
Dan gadis itu adalah aku.

     Aku tak henti-hentinya berargumen melawan sukmaku yang berkata lain. Terus melontarkan alibi-alibi hingga tiada tersisa satupun yang menunggui pikiranku. Aku kehabisan akal. Beradu dengan hati kecilku yang masih bisa mempertahankan argumennya. Ia mengiyakan. Sementara amarahku memberontak. Ia bergulat dengan sesiapa yang menentangnya.

     Perasaanku demikian resah. Permintaan Umi benar-benar membuntutiku sekarang. Ia berputar-putar di otakku hingga aku tak mampu lagi berpikir.

Baiklah.
Aku kalah.
Akhirnya.

     Masih melekat di ingatanku perkara perkataan dokter tempo hari. Umi mengalami serangan jantung mendadak dan itu bisa saja terjadi lagi. Na'uzhubillah.
Umi sedang sakit. Benar-benar sakit. Tubuhnya sudah renta dan rapuh. Itulah realitanya.

Lagi,
Aku kalah.

Hati kecilku yang benar. Aku harus menuruti petuah Umi yang satu ini. Karena itulah tanda baktiku untuk surgaku.

"Nak..." Umi memanggilku lirih.

"Ya, Umi..." Sahutku sembari mendatangi Umi di tempat tidur.

"Tolong hantarkan Umi ke kamar mandi. Umi ingin berwudhu, sebentar lagi maghrib." Pintanya dengan lembut, dengan suara surganya.

"Baik, Umi. " Aku segera membopong Umi dengan cekatan ke kamar mandi.

Sesekali ku lihat wajah Umi. Tampak guratan-guratan di beberapa sudut wajahnya. Itu bukan keriput. Itu bercahaya, memancarkan kilauan surga.
Beliau benar-benar cantik . Cantiknya beraroma surga. Jika ditanya siapa wanita tercantik sedunia, maka Umi lah jawabanku.

"Yumna, Umi sudah selesai. Sekarang kamu yang berwudhu"

Aku tersenyum tipis seraya mengangguk.

     Tak lama kemudian, azan pun berkumandang. Terdengar sayup-sayup dari puncak menara masjid sejauh mata memandang. Aku dan Umi pun bersama menikmati maghrib dengan khusyuk.

~~~

     Kamar ini sepi. Hanya aku dan Umi yang menungguinya. Kak Niya dan Mas Ilyas kembali ke Bandung untuk mengambil beberapa pakaian agar bisa stay di Jakarta beberapa hari ke depan. Sedangkan Kak Anna dan Mas Imam pulang kerumah kami untuk mengecek keadaan rumah.

"Umi, Yumna keluar sebentar ya, membeli makanan." Ucapku sembari merapikan jilbabku.

"Ya sudah, cari warung yang dekat rumah sakit saja."

"Baik, Umi. Yumna pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

     Aku segera menuju lift untuk turun ke lantai dasar. Tak butuh waktu lama, aku sampai di lantai dasar dengan waktu kurang dari lima menit. Ku lihat langit menghitam. Bulan pun telah hilang di balik awan. Tak lama, terdengar suara gemuruh-gemuruh saling bersahutan dari segala penjuru langit. Halilintar dengan perkasa memancarkan sinarnya membelah langit.

     Aku mempercepat langkahku menuju warung mie goreng yang berada di seberang rumah sakit. Rintik-rintik hujan tampak jatuh bebas di permukaan jalan raya. Aku segera menyebrang di sela-sela laju kendaraan yang melintas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 14, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Derai Derai RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang