03 - Sederet Kalimat

5.7K 1K 73
                                    

Bara

Gue berusaha buat menahan semua jenis amarah gue. Si tolol, emang. Padahal gue yang salah, tapi justru gue yang merasa marah. Bego. Bego banget. Tapi gimana bisa gue nggak marah, saat Lana dengan lempengnya nggak marah sama sekali dengan ketololan gue kali ini? Gue nggak dateng di salah satu acara penting buat dia! Dan sekarang, gimana bisa gue nerima senyum dia, di saat gue udah siapin mental buat semua makian dia?

Sialan.

"Aku mau ngomong."

Gue pengin keluarin semua unek-unek gue selama beberapa bulan ini. Karena pas masih pacaran, Lana nggak begini. Dia nggak sepasif ini. Gue tahu Lana emang lebih pendiem dibanding gue. Dalam hubungan kami pun, lebih sering gue yang berusaha memulai dalam hal apa pun. Dan gue nggak pernah permasalahin semua itu karena gue pikir semuanya pasti bakal baik-baik aja.

Karena itu awalnya gue seneng, bahagia malah sama sikap Lana yang selalu nurut maunya gue. Nggak pernah sama sekali marah atau nuntut gue buat kayak yang dia mau. Tapi lama-lama gue nggak suka. Karena semua itu bikin gue merasa kalau dia nggak beneran cinta sama gue. Cuma sekedar butuh.

Karena kalau cinta, dia harusnya marah atau minimal nanya waktu gue nggak bisa pulang cepet karena kerjaan. Atau waktu gue nemenin temen kantor gue, yang jenis kelaminnya perempuan buat makan siang bareng—sekalipun itu sekalian meeting. Tapi dia beneran nggak pernah nanya. Dia pasti cuma ngangguk dan jalanin peran kayak istri yang penuh pengertian. Dan gue nggak suka itu. Gue lebih suka dia ekspresif di depan gue. Itu bikin gue merasa diperhatiin sama istri.

Makanya, belakangan ini gue merasa semuanya berubah. Terlepas dari kebrengsekan gue yang biarin Sesil masuk dalam pikiran gue, rasa bosan sama Lana itu udah muncul sebelum Sesil dateng di kantor gue. Iya, itu bener. Gue begitu cuma karena merasa Lana nggak ngasih perhatian ke gue.

"Aku mau ngomong." Gue mengulang kata-kata gue sambil noleh ke arah Lana yang masih diem di tempatnya. Kami masih di dalem mobil, belum keluar sama sekali padahal udah sampai di parkiran apartement.

Gue bisa lihat Lana narik napasnya perlahan. Terus dia menoleh kecil ke arah gue. Dengan senyum yang bikin gue justru jadi panik sendiri. Sialan. "Kamu mau ngomong apa?" tanyanya lembut.

Gue malah diem. Sibuk merangkai kata-kata yang pas. Selama ini gue menahan semua unek-unek gue cuma karena nggak mau nyakitin perasaan dia.

Tapi lo makin nyakitin dia karena Sesil, bego!

"Bar?"

Gue narik napas pelan. Gue mau jujur aja. Bukannya kata orang-orang yang sok paham soal cinta itu bilang kalau hubungan yang sehat adalah hubungan yang komunikasinya kuat? Dan sekarang, gue mau coba bilang semuanya ke Lana. Semuanya. Biar gue tenang. Biar gue bisa pelan-pelan ganti kehambaran rasa gue ini jadi rasa yang dulu menggebu-gebu buat dia.

Karena biar gimana pun, gue masih berani bilang kalau dia cinta terbesar gue. Sekalipun bukan cinta pertama, tapi dia yang bikin gue bisa jadi orang gila cuma karena nggak lihat dia sehari aja. Dulu. Sebelum kehambaran sialan ini merayapi gue.

"Kenapa kamu nggak marah? Aku nggak dateng lho, di acara pentingnya kamu."

Sunyi. Nggak ada jawaban. Lana cuma diem sambil natap ke depan. Terus gue lihat dia gigit bibir bawahnya. Kayak orang yang lagi merasa serba salah. Kalau gue nggak salah nebak, ini tingkah perempuan kalau dia mau jawab sesuatu, tapi berusaha nyangkal karena nggak enak sama yang lagi nanya, kan? Berarti dia marah, kan? Boleh nggak gue ngambil kesimpulan begitu? Boleh nggak gue berharap, sekali ini aja Lana marah sama gue terus maksa gue ngelakuin sesuatu yang dia mau?

Bego, kan? Cuma laki-laki bego kayak gue, yang berharap banget istrinya marah terus nuntut macem-macem. Tapi serius. Gue pengin banget dia begitu. Gue pengin banget denger dia ngomel-ngomel kayak perempuan lain kalau tingkah suaminya itu nggak kayak yang mereka mau. Gue kadang juga pengin lihat sifat manja dia—yang kalau gue inget lagi, nggak pernah gue lihat sejak kami bersama. Karena gue berpikir, dari situ gue bisa lihat sepenting apa gue di hidup dia.

Lana noleh lagi ke arah gue. Matanya natap gue dengan tatapan yang... apa, yah? Gue juga bingung deskripsiinnya. "Tadi kan kamu udah jelasin ke aku," jawab dia. "Masa aku harus marah-marah sama kamu soal ginian, padahal kamu kan kerja. Bukan ngelakuin yang lain."

Habislah. Rahang gue udah beradu keras. Gue pengin banget marah. Tapi bingung juga gimana marahnya, karena yang Lana lakuin itu mungkin nggak salah. Hampir semua suami pengin punya istri yang pengertian kayak dia. Sayangnya, Lana terlalu pengertian. Sampai bikin gue ngerasa nggak berharga buat dia.

Ibaratnya tuh, kayak orangtua yang udah nggak peduli lagi anaknya mau ngapain, jadi dibiarin aja ngelakuin hal bego sesuka hati. Dan ada di posisi si anak itu, nggak enak banget. Serius. Karena gue pernah ngerasain itu. Gue nggak pengin lagi berada di posisi itu. Apalagi pelakunya adalah istri gue sendiri.

"Turun, yuk. Aku mau masakin ayam kecap buat kamu."

"Akhir-akhir ini, aku suka kalau ngobrol sama Sesil."

Gerakan Lana yang tadinya mau keluar dari mobil langsung berhenti. Gue tahu badan dia udah kaku. Tapi gue nggak bisa baca ekspresinya. Sama sekali. Gue nggak tahu dia marah atau sedih atau bahkan seneng sama kalimat sialan gue barusan. Demi Tuhan, bukan kayak gini cara gue mau jelasin semuanya ke Lana. Bukan begini.

Sekalipun dua bulan ini, gue suka dan nyaman deket sama Sesil, sama sekali nggak bikin gue mikir lebih jauh. Gue masih tahu batasan. Cinta gue sama Lana itu masih ada, selalu. Walaupun emang ada rasa bosan. Tapi gue sadar kalau kedekatan gue sama Sesil cuma bentuk pelampiasan yang gue lakuin karena gue nggak dapetin yang gue mau dari Lana. Ingkar janji yang hari ini gue lakuin ternyata udah bikin gue sadar sama pernyataan gue barusan. Sesil cuma bentuk pelarian pikiran gue doang, tapi hati gue sepenuhnya masih buat Lana. Masih buat istri gue.

"Ngobrol sama dia asik. Bisa diajak diskusi. Selalu apa adanya. Kalau nggak suka sesuatu, dia langsung bilang. Aku suka orang yang kayak gitu."

Terusin, Bar. Terusin omongan sialan ini buat nyakitin istri lo sendiri cuma demi ego lo.

Bangsat! Gue mulai merutuki ketololan gue.

"Dia juga—"

"Bar."

Omongan gue terhenti dan gue noleh ke kiri, buat lihat dia yang ternyata udah natap gue sambil senyum.

Gue selalu suka lihat Lana senyum. Tapi gue benci setiap kali dia kasih gue senyum di saat yang nggak tepat, kayak sekarang.

"Aku nggak akan larang kamu deket sama siapa pun. Sama Sesil atau sama siapa pun. Kalaupun nanti kamu... kamu... suka sama dia," Lana ngomong apa? "...nggak apa-apa. Asalkan kamu terus sama aku. Nggak pergi ke mana-mana. Aku nggak masalah kamu sama Sesil atau perempuan mana pun. Tapi tetep sama aku, ya. Mau, kan?"

Dan gue cuma bisa bengong sama kalimat yang baru aja gue denger. Gue speechless. Tapi lebih dari itu, hati gue nyeri pas denger omongan Lana. Dia cinta nggak sih, sama gue?

"Yuk, keluar."

Lana keluar dari mobil. Dengan santai. Tanpa tahu efek apa yang udah dia kasih karena kalimat ajaib dia barusan. Dia bertingkah seakan nggak terjadi apa pun. Nggak denger apa pun sederet kalimat brengsek yang udah gue kasih di depan dia.

Sadar dengan tingkah bego yang baru aja gue lakuin, gue mendengus miris sambil geleng-geleng kepala dramatis. Ternyata gue nikah sama perempuan yang mungkin rasanya ke gue nggak nyampe seujung kuku. Dan kemungkinan itu bikin kepala gue tiba-tiba pening. Bener-bener sialan.

•••

Republish: 08 Oktober 2021

Headlock [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang