Lana
"Kita pisah aja ya, Na."
Kepalaku mendongak. Menatap Bara yang juga sedang menatapku lekat. Aku menggeleng keras. "Nggak mau, Bar."
"Tapi aku udah nggak bisa sama kamu, Na. Bener-bener nggak bisa."
Aku sudah menangis. "Kamu boleh jalan sama siapa aja. Aku nggak akan larang. Tapi aku nggak mau pisah. Aku nggak mau kayak papa sama mama. Aku nggak mau, Bar."
"Aku yang mau. Jadi, tolong jangan bikin semuanya jadi rumit, Na."
Aku semakin terisak saat Bara sudah bangkit berdiri untuk meninggalkanku. Aku mengejarnya dengan cepat. Memeluk pinggangnya dengan erat. Menahan langkahnya yang semakin bergerak menjauh dariku. "Aku nggak mau, Bara. Nggak mau." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil terisak hebat.
Aku akan terus memohon, asalkan Bara tetap tinggal di sisiku.
"Nggak, Lana. Aku nggak bisa lagi. Kita salah. Nggak bisa dibenerin lagi." Bara mencoba melepaskan pelukanku.
"Jangan, Bar. Aku mohon," isakku, meminta dengan sangat.
Tapi Bara semakin melepaskan pelukanku. "Maafin aku, Na."
"Enggak, Bara! Enggak!!!"
Aku tersentak hebat dengan napas yang tersengal-sengal. Keringat dingin sudah mengalir di dahiku. Aku tidak bisa menyadari apa pun, karena tatapanku hanya kosong. Aku bermimpi. Mimpi yang sangat buruk dan terasa begitu menyakitkan.
Bara meninggalkanku.
Dari semua mimpi buruk yang selalu menggangguku, kehilangan Bara adalah mimpi yang paling menakutkan untukku.
Sangat menakutkan.
Bara adalah satu-satunya tujuan yang aku punya setelah aku pikir berhasil melewati mimpi burukku bertahun-tahun lamanya. Bersama Bara, aku mulai merasakan apa itu hidup dengan cinta. Sekalipun saat ini dia sudah berbeda, tapi aku masih sama. Masih mencintainya dengan sama besarnya seperti dulu.
"Lana? Hei, Lan?"
Aku kembali tersentak saat melihat Alka sudah duduk di atas kasur, dan menatapku dengan bingung.
"Daritadi saya panggilin kamu, tapi kamu nggak jawab," jelasnya. Lalu Alka tersenyum lembut. "Mimpi buruk?"
Aku menelan ludahku susah payah. Tidak. Siapa pun—selain Tami, tidak ada yang boleh mengetahui keanehan mentalku. Jadi akhirnya, aku memilih tetap diam sambil mencoba mengatur napasku agar terdengar normal.
Alka kembali tersenyum. "Tadi kamu pingsan di ruangan kamu. Terus Tami minta saya bawain ke sini."
Aku langsung mengedarkan pandanganku. Aku amat tahu kalau ini adalah kamar saat aku tinggal berdua dengan Tami, sebelum aku menikah dengan Bara.
"Tam—"
"Tami lagi ke rumah sakit. Rio keserempet motor tadi. Jadi, habis dari restoran, dia buru-buru ke sana. Terus minta saya temenin kamu di sini sampai dia pulang."
Aku hanya mengangguk kecil. Rasanya tenagaku sudah terkuras habis. Kepalaku masih sangat pusing. Tanpa sadar, aku sudah melipat kedua lututku ke depan. Kepalaku tertunduk di sana. Aku lelah sekali.
"Lan? Lana?"
Aku mendongak pelan. Ada sorot khawatir yang aku tangkap saat Alka menatapku.
"Pusing? Mau saya antar pulang aja?"
"Jangan."
Kening Alka mengernyit. Mungkin sedikit terkejut dengan jawabanku yang sangat cepat.
"Oke. Jadi, mau di sini aja?"
![](https://img.wattpad.com/cover/129841796-288-k286534.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Headlock [Completed]
Fiksi UmumSeharusnya, aku tidak pernah menerima lamarannya, satu tahun yang lalu. - Lana Dimitri - Seharusnya, gue nggak pernah lamar dia, satu tahun yang lalu. - Bara Setrawan - 25 November 2017 Republished : 04 Oktober 2021