11 - Ingatan Pahit

5.1K 1K 67
                                    

Lana

"Hai, Lan."

Kenapa dari banyaknya waktu, harus sekarang laki-laki ini datang dengan tak tahu malunya? Setelah sekeras mungkin aku selalu menghindari pertemuan dengannya, bagaimana bisa dia justru datang menemuiku secara langsung seperti sekarang?

Aku justru menelan ludahku susah payah saat melihatnya tersenyum ramah. Atau pura-pura ramah? Entahlah. Aku tidak cukup pintar untuk mengetahuinya.

"Lan?"

"Eh. Oh. Hai... Kak Ren-dy."

Bodoh. Bahkan menyebut namanya saja aku masih terbata-bata.

Dia kembali tersenyum. "Kamu apa kabar? Udah punya banyak restoran aja ya sekarang."

Aku menekan rahangku keras-keras. Demi apa pun, dadaku sangat sakit sekarang. Aku bahkan sangat sadar kalau keringat sudah mengalir di dahiku. Demi apa pun, aku mohon jangan terlihat takut di depan laki-laki ini.

Aku memaksakan senyumku.

"Aku sengaja ke sini, mau ketemu kamu. Boleh, kan?"

Tidak. Jangan lagi. Aku yakin, aku bisa mati jika terus berada di sini.

"Cuma mau ngobrol-ngobrol bentar, Lan. Tentang Widi juga."

Widi? Memangnya ada apa dengan adik tiriku itu? Aku selalu berusaha mengikuti semua kemauan adik tiriku dari mama ataupun papa, jadi seharusnya mereka tidak perlu menggangguku lagi, kan?

"Ak—"

"Aku janji nggak akan bahas yang udah lalu."

Tubuhku langsung menegang. Kaku. Aku tahu wajahku sudah sepucat apa sekarang. Kenapa dengan mudahnya laki-laki ini menyinggung salah satu dari apa yang menjadi mimpi burukku itu?

Tapi aku tahu. Aku hanyalah Lana yang lemah dan bodoh. Seperti dulu. Yang tidak akan bisa memberikan perlawanan apa pun. Jadi akhirnya, aku membawa dia duduk di salah satu meja yang berada di paling tengah. Agar semua orang bisa melihat kami, sehingga aku merasa aman. Tidak perlu takut kalau dia akan kembali membuatku merasa hampir seperti sampah, beberapa tahun yang lalu.

Saat sudah duduk di kursi, aku menarik napasku dalam-dalam. Berusaha mengingat kembali perkataan Tami ketika waktu itu dia menemukanku dalam kondisi yang amat sangat menyedihkan.

Semua baik-baik aja, Lan. Baik-baik aja.

"Bara pasti seneng banget ya, punya istri mandiri kayak kamu. Pinter masak. Cantik lagi. Terus..."

Tubuhku mulai lemas. Kepalan tanganku yang berada di atas paha, justru semakin menguat. Ternyata aku tidak bisa. Aku tidak lagi bisa mendengarkan semua perkataannya karena sekarang yang bisa kudengar hanya suara bising yang begitu kencang, membuatku otomatis menutup kedua mataku kuat-kuat.

"Lan? Lan?"

Suara itu masih samar-samar.

"Lana? Lana!"

Aku tersentak. Kedua mataku langsung membeliak ngeri saat wajahnya sudah berada cukup dekat dengan wajahku. Aku menyelipkan helaian rambutku ke belakang telinga dengan kuat. Aku ketakutan. Ternyata aku masih selemah itu. Menyedihkan sekali.

"Kamu lagi sakit, ya?"

Tapi lebih menyakitkan saat aku harus membiarkan orang-orang tidak mengetahui kesakitan mental yang aku rasakan bertahun-tahun lamanya.

Akhirnya, aku hanya mengangguk kaku. Mencoba bernapas normal supaya laki-laki di depanku ini tidak menyadari ketakutanku.

Dia menarik napasnya. "Ya udah, deh. Kamu istirahat aja kalau begitu. Nanti kapan-kapan aku main ke sini lagi. Walaupun saudara tiri, kita tetap saudara, Lan. Inget, kan?"

Headlock [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang