08 - Rasa Bosan

5.1K 973 80
                                    

Bara

Gimana caranya supaya rasa nyaman gue ke Sesil bisa hilang? Sumpah. Gue nggak tahu. Gue seneng setiap kali lihat dia ketawa. Gue antusias setiap kali denger dia cerita dengan menggebu-gebunya. Gue ikutan sedih setiap kali dia sedih karena berantem sama pacarnya. Iya. Dia udah punya pacar. Tolol banget kan gue?

"Setiap aku tanya sama dia kapan mau nikah, dia pasti diem aja. Waktu aku tanya kenapa, dia nggak pernah mau jawab," ceritanya.

Gue cuma diem, dengerin semua keluh kesah dia soal laki-laki yang dia bilang udah bareng dia selama tiga tahun belakangan ini.

"Capek nggak sih, nunggu yang nggak pasti kayak gini? Aku sama dia tuh, udah berumur, Bar. Masa dia nggak ada kepikiran buat nikah? Aneh, kan."

Sesil kelihatan banget nahan kesal. Gondok mungkin. Dan demi apa pun, sekeras mungkin gue berusaha nahan diri gue buat nggak meluk dia karena gemas. Sialan.

"Mungkin dia belum siap aja, Sil." Cuma itu yang bisa gue bilang.

Helaan napas Sesil kedengeran berat banget. "Masalahnya, dia nggak ada bilang apa-apa, Bar. Cuma bisa kasih status pacaran doang."

Gue diem lagi. Bingung juga mau bales apa.

"Tapi nikah itu, enak nggak sih, Bar?"

"Hah?" Gue sedikit melongo pas denger pertanyaan dia.

"Iya. Nikah enak nggak?" Dia nanya sambil sesekali rapihin berkas yang ada di depan dia.

"Oh." Gue garuk-garuk hidung gue yang sebenernya sama sekali nggak gatal. "Tergantung."

Bener kan, jawaban gue?

Dahi Sesil mengerut. "Tergantung?"

"Ya, iya. Tergantung. Sama aja kayak pas pacaran. Kadang seneng tapi bisa juga bosen."

Kayak gue sekarang. Karena sekuat apa pun gue menyangkal dengan bilang kalau gue cinta Lana, sekeras apa pun gue bilang kalau deket sama Sesil cuma bentuk pelampiasan gue doang, gue tetap nggak bisa bohong, kalau gue emang merasa bosen sama hubungan gue dan Lana.

Apalagi setelah kejadian Lana pingsan tapi gue nggak tahu apa-apa, gue merasa hubungan gue sama Lana makin jauh. Kami tinggal bareng, tapi komunikasi cuma seadanya aja. Cuma kayak sekedar keharusan, bukan kebutuhan. Separah itu.

Gue tahu, kalau hubungan kami bisa kayak gini, ya karena salah kami berdua. Gue sama Lana itu, dua orang yang bener-bener nol besar soal komunikasi. Gue sadar betul sama hal itu. Makanya, kadang gue pengin ngomong ke Lana soal masalah ini, gimana nggak sukanya gue sama sikap dia yang seakan mengabaikan gue karena cuma iya-iya aja. Tapi gue yakin, reaksinya cuma bakal manut-manut lagi. Dan kemungkinan itu udah bikin gue males duluan buat ngomong.

"Bosen?" tanya Sesil heran. "Walaupun masih pengantin baru?"

Bener. Kadang, itu juga yang jadi pertanyaan gue.

"Namanya bosen, ya bisa nyerang kapan aja, Sil," canda gue.

"Kalau kamu sama Lana juga gitu?"

Gue sedikit kaget waktu denger pertanyaan Sesil. Gue emang pernah kenalin dia ke Lana waktu Lana ke sini pas dia baru masuk beberapa hari. Tapi gue nggak nyangka aja dia bisa nanya kayak gini.

"Eh, astaga. Maaf-maaf, Bar. Aku tuh, kalau udah ngobrolnya nyambung, suka nggak tahu situasi. Maaf, ya."

Akhirnya, gue cuma ketawa garing setelah denger dia ngomong kayak gitu. Dan akhirnya, gue milih buat fokus sama beberapa dokumen yang ada di depan gue.

"Bar?"

Gue mendongak ke arah pintu waktu denger suara laki-laki manggil gue. "Eh, masuk, Mas. Gue pikir masih lama nyampenya. Sori ya, nanggung nih, kerjaan gue."

Tadi sore, Mas Fajar—sepupu gue, tiba-tiba aja bilang kalau dia mau main ke kantor gue. Katanya, tadi habis ketemuan sama orang audit di deket-deket sini. Berhubung emang masih ada beberapa dokumen yang harus gue kelarin malam ini, jadilah akhirnya gue bilang iya ke dia.

"Santai aja, Bar," sahutnya. "Gue nunggu di depan, ya? Nggak enak entar gangguin kerjaan lo."

Gue mengangguk sekilas terus balik lagi berkutat sama lembaran kertas di meja.

"Saudara?"

Gue berdeham kecil, mengiyakan. "Sepupu dari Mama."

Sesil mengangguk-angguk. Tiba-tiba ponselnya berdering panjang. Ada panggilan masuk yang langsung ditolak sama dia. Gue dongak natap Sesil sekedar ngasih tatapan bertanya.

"Biarin aja. Lagi kesel sama dia."

Oke. Gue tahu siapa. Pasti si Cakra.

Tololnya, gue justru nahan senyum pas lihat muka Sesil yang udah ditekuk lucu kayak sekarang. Muka ngambeknya dia bikin gue pengin ketawa. Ah, Lana bisa nggak ya, ngambek kayak gini?

Shit, Bar. Jangan mulai lagi lo, Bangsat.

"Lanjut besok aja deh, Sil." Pelan-pelan gue bangkit berdiri sambil beresin kertas-kertas di atas meja.

"Kenapa?"

"Capek," cengir gue. "Lagian kamu kayaknya butuh istirahat karena lagi ngambek." Gue bercanda lagi, dan reaksi dia yang mencibir lucu bikin gue malah ketawa geli. "Sori ya, malem ini nggak bisa nganter balik."

"Emang siapa yang minta dianterin?" sarkasnya. Gue ketawa aja, karena gue tahu kalau dia bercanda.

"Mau aku cariin taksi dulu nggak?"

Sesil memutar kedua bola matanya. "Please deh, Bar. Ini masih jam setengah sembilan malem. Kamu pikir aku anak kecil yang nggak bisa balik malem sendirian?"

Lagi-lagi gue ketawa. Sama Sesil, gue merasa jadi lebih banyak berekspresi.

"Ya udah, aku duluan, ya."

"Yuk, aku anter sampai depan lift." Gue melangkah keluar ruangan, dengan Sesil yang ada di sebelah gue.

"Lho, udah kelar, Bar?" Mas Fajar, yang lagi duduk di sofa depan ruangan langsung berdiri pas lihat gue sama Sesil keluar dari pintu.

Gue mengangguk. "Gue anter Sesil sampai depan lift dulu ya, Mas."

"Oh. Oke."

Sementara Sesil nunduk sebentar, sekadar pamit sama Mas Fajar. "Saya duluan ya, Mas."

Setelah mastiin kalau Sesil udah di dalam lift, gue melambaikan tangan ke arah dia. "Hati-hati, ya."

"Sip. Hati-hati juga, Bar."

Dan gue semakin narik sudut bibir gue waktu lihat dia senyum pas ngomong kalimat itu. Sial.

"Lana tahu kalau lo lembur cuma berdua sama perempuan, Bar?"

•••

Republish: 18 Oktober 2021

Headlock [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang