Chapter 2

48 14 35
                                    

Aku tak mengerti dengan diriku lagi, dulu aku bertekad melupakan Ren dengan cara apapun, tapi semenjak kedatangan Ren ke rumahku, tekadku untuk melupakan Ren semakin menyurut, aku merasa Ren telah benar-benar menghancurkan tekadku. Aku merasa kesal pada diriku sendiri, apalagi jika melihat Ren tersenyum saat menyapaku, aku merasa bentengku semakin terkikis. 

Senyumnya itu sangat tidak baik bagi tekadku. Saat aku mendapati jika Ren telah mengakhiri hubungannya dengan pacarnya, saat itu aku benar-benar membenci diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku justru bertekad bulat untuk berharap padanya lagi?

"Hai Yura" sapa seseorang ketika aku baru menginjakkan kakiku ke dalam kelas. Aku menoleh untuk mencari tahu siapa yang memanggilku. Ternyata itu Ren

"Hai juga Ren" aku membalasnya dengan tersenyum

Aku tidak mengerti, sudah dua minggu sejak mereka datang ke rumahku. Setelah hari itu, Ren jadi rajin menyapaku setiap pagi. Entah itu mengatakan selamat pagi, hai atau bahkan dia penah menanyakan apa aku sudah sarapan atau belum.

Intensitasnya menyapaku dan caranya memperlakukanku membuat otak jahatku berpikir apa mungkin dia sudah mengakhiri hubungannya, jadi dia bebas mendekati siapapun. Tapi faktanya, nama pacarnya masih ada di akun sosial medianya. Jadi itu adalah hal yang tidak mungkin.

Tapi satu hal yang aneh lagi adalah, Ren juga lebih sering menghubungiku melalui Line. Membicarakan hal-hal yang tidak penting dan itu berkelanjutan hingga sekarang. Memangnya otakku salah memikirkan kemungkinan dia sudah mengakhiri hubungannya?

Lagipula mana ada orang pacaran yang tidak marah jika salah satunya menghubungi orang lain dengan intensitas yang bisa dibilang sering. Jadi ini juga tidak mungkin jika dia masih berhubungan dengan pacarnya. Jadi kebenarannya yang mana?

Saat aku tiba di rumah, aku bergegas mengganti pakaian sekolahku dan bersiap untuk makan siang. Tapi saat aku akan beranjak keluar, notifikasi Line ku berbunyi, jadi aku urungkan niatku keluar dan mengambil handphone.

Setelah kulihat ternyata itu pesan dari Ren, dia menanyakan apakah aku sudah tiba di rumah atau belum. Aku membalasnya mengatakan jika aku sudah di rumah.
Percakapan via chatting itu terus berlanjut hingga aku ingat jika aku belum makan siang dan akhirnya mengatakan paad Ren jika aku mau pergi makan dulu.

Selama kegiatan makan siangku, aku masih berpikir, ini sudah dua minggu sejak Ren selalu menghubungiku via Line. Ini aneh untuk ukuran orang yang telah punya pacar.

Setelah makan aku bergegas ke kamarku dan segera kuraih handphone. Aku tergesa untuk membuka profil Ren di Line dan kudapati nama pacarnya sudah tidak ada lagi disana. Entah bagaimana aku merasa lega. Apa aku jahat?

Setelah Line, aku meyakinkan diriku jika hubungan Ren sudah berakhir, jadi aku melihat akun-akun sosial media Ren yang lain, dan benar saja nama pacarnya sudah tidak ada lagi.

Disatu sisi aku lega hubungan mereka berakhir tapi di sisi lain aku kesal pada diriku, kenapa karena ini tekadku yang hamper 90% itu menguap tanpa sisa. Tekadku lebur, dan spontan digantikan dengan harapan.

Aku jatuh kedalam lubang yang sama. Pesona yang sama. Dan orang yang sama. Ironis memang. Hatiku menjerit lagi. Meminta untuk kembali berharap padanya.

Memaksa agar aku mempengaruhi pikiranku, bahwa Ren juga menyukaiku. Tanpa peduli rasa sakit yang tak diharapkan akan datang lagi. Aku merutuki diriku. Tapi tak memungkiri kenyataannya.

Aku berharap padanya lagi.

Sekaligus aku memarahi diriku sendiri.

Pagi ini mendung, berkebalikan sekali dari perasaanku. Aku merasa sangat baik hari ini bahkan terlalu baik.

Happily (n)Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang