Delapan

13.8K 1.4K 221
                                    

Tadi sore Rayan mengajakku pergi. Ada sebagian cat yang habis dan dia harus membelinya di Jalan Peta, daerah Bojongloa Kaler katanya. Aku menolak, dengan berbagai alasan agar bisa diterima untuk nggak ikut walaupun sulit, karena Rayan tetap memaksaku untuk ikut. Dan saat kubilang bahwa aku sedang nggak enak badan, dia langsung melepaskan tanganku lalu bilang, "Ya udah, kalau gitu kamu istirahat aja di rumah, aku janji nggak akan lama," katanya.

Dan sekarang, sudah pukul tujuh malam. Aku duduk di meja makan untuk menunggunya pulang, menghadap sebuah cake kecil yang tertancap lilin angka 29 di atasnya dengan lampu rumah yang seluruhnya kumatikan, ini sengaja agar menarik perhatiannya. Hari ini ulang tahun Rayan, tanggal 10 Oktober, dan aku baru sadar tadi pagi ketika membuka lagi proyek tulisanku yang hampir selesai. Jadi sekarang aku berencana membuat kejutan kecil-kecilan untuknya. Jangan tanya kenapa Rayan nggak memberitahuku tentang hari ulang tahunnya, karena dia bukan tipe orang yang senang melalukan hal kekanakkan seperti ini kayaknya.

Saat aku sedang bersenandung ringan, ponselku bergetar menandakan sebuah pesan masuk.

Rayan Arshad

"La, kok rumah gelap?"

Aku tersenyum, karena berhasil menarik perhatiannya.

Me

"Iya, nih."

Rayan Arshad

"Kok mati semua? Kamu ketiduran, lupa nyalain lampu, apa gimana?"

Me

"Nggak."

Rayan Arshad

"Lho, listriknya konslet jangan-jangan?"

Me

"Tolong, dong."

Rayan Arshad

"Ah modus, ya? Mau gelap-gelapan?"

Me

"Mau nolongin nggak ini?"

Rayan Arshad

"Iya iya. Tunggu."

Aku tersenyum melihat pesan terakhirnya, karena aku berhasil.

Tidak berselang lama, aku mendengar pintu rumah diketuk, dan itu pasti Rayan. Aku menyalakan lilin dengan pemantik api yang sudah kusiapkan di atas meja. Lalu berjalan dengan hati-hati sambil menopang cake di tangan kanan, dan tangan kiriku yang membawa petasan confetti kecil mencoba membuka pintu.

Pintu terbuka, aku melihat Rayan berdiri di hadapanku. Ia seperti akan mengatakan sesuatu saat menatapku, namun petasan confetti yang kuledakan tepat di depan wajahnya membuatnya sedikit terkejut. Kertas warna-warni itu berterbangan, lalu berhamburan ke lantai. "Selamat ulang tahun!" ujarku dengan bersemangat dan Rayan hanya tertawa.

"Ya ampun, ini ...." Rayan mendadak kehilangan suara. "La, berasa kayak anak SMA lagi, deh. Eh tapi lihat angka di kuenya jadi bikin sadar umur," ujarnya, kemudian tertawa lagi.

Aku juga ikut tertawa. Terlalu kekanakkan memangnya, ya? "Make a wish, dong," ujarku seraya mengangsurkan cake dengan lilin yang menyala ke hadapan wajahnya.

Rayan meredakan tawanya, berdeham. "Oke." Dia memejamkan mata sesaat, lalu membuka matanya lagi. "Bikin permohonan apa, ya? Udah lama banget nggak tiup lilin gini soalnya."

"Ya, apa pun. Yang kamu inginkan," jawabku.

Rayan memejamkan matanya lagi sambil mengangguk-angguk. "Tentang karier?" tanyanya.

Monokrom [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang