Satu

29.6K 1.6K 208
                                    

Selamat membaca ❤️

Aku sudah sampai sejak dua jam yang lalu. Menemukan kamar di lantai dua yang memiliki balkon menghadap ke jalan, jalam yang ditumbuhi jejeran pohon rindang, jejeran rumah dengan bentuk yang sama dan dari kejauhan di depan sana, aku dapat melihat gunung hijau menyambut saat pintu kaca balkon dibuka.

Tanganku masih memegang ponsel di samping telinga kanan, sambil mendengar suara Anggia dari speaker telepon, kemudian menghirup udara segar di sekitarku dengan perlahan sambil memejamkan mata. Sudah jam sebelas siang, tetapi udara masih sangat sejuk.

“Lo dengar apa yang gue bilang nggak sih, La?” Suara cempreng  di telepon membuat ritual penenangan diriku terganggu. Dan memang bukan waktu yang tepat sih untuk menenangkan diri sambil menelepon Anggia.

“Iya.” Aku menjawab cuek. Lalu melangkah kembali ke dalam ke kamar luas dengan lantai kayu berpelitur mengilap. Di sini tidak ada AC, tetapi udara tetap stabil menyejukkan.

“Gue nggak mau ya nemuin rumah gue masuk tv, dikelilingin police line,” ujar Anggia dengan suara yang kini seperti sedang mengunyah kripik atau semacamnya. “Terus masuk berita kalau Sahila Inara mati bunuh diri.”

“Astaga.” Aku membuat wajah muak. Anggia memang pintar banget buat orang lain muak dengan ocehannya. “Gue niatnya malah nghak mau mati sebelum bahagia,” ujarku asal.

“Bagus. Yugo memang harus lihat lo bahagia.”

“Nggi….” Aku duduk di ranjang king size berlapis sprai putih itu dengan pundak merunduk. Entah kenapa, mendengar nama itu, tiba-tiba saja semua energi negatif berkumpul dan bikin aku benar-benar ingin bunuh diri.

“Oke, pria-yang-jangan-disebutkan-namanya-itu harus lihat lo bahagia.” Anggia berhenti bicara sambil mengunyah. “Gue kerja dulu ya. Lo seneng-seneng di sana. Kalau ada waktu, gue pasti main ke sana. Bye, Hila.”

Aku melihat layar ponsel yang sudah menampilkan layar utama. Sambungan telepon sudah terputus. Dan … di sinilah aku sekarang. Jauh dari Jakarta yang sesak dengan semua kenangan. Entah ini bisa disebut melarikan diri atau apa, karena aku sekarang berada di Kota Bandung, dan tinggal di sebuah rumah jauh dari keramaian di daerah Dago. Komplek Dago Village tepatnya, yang sepertinya setiap rumah memang dibeli hanya untuk investasi atau mungkin dikunjungi saat liburan. Di sini sepi, apalagi letak rumah orang tua Anggia—yang saat ini aku tempati, berada di ujung komplek. Sama halnya dengan pemilik rumah lain, orang tua Anggia juga membeli rumah ini hanya untuk dikunjungi beberapa kali dalam setahun, mereka memiliki bisnis di Jakarta, sedangkan Anggia memilih tinggal di Buahbatu Bandung sejak kuliah karena dekat dengan Universitas Telkom hingga berlanjut mendapat pekerjaan di sana dan memilih untuk menyewa apartemen dibandingkan harus tinggal di rumah, menempuh jarak Dago-Buahbatu setiap harinya.

Aku menyimpan koper besar berisi semua barang bawaan ke atas ranjang. Membukanya dan mengeluarkan isinya untuk dipindahkan ke dalam lemari besar yang menempel di dinding. Anggia bilang, “Pakai aja semua fasilitas yang ada di rumah, anggap aja rumah sendiri.”

Aku sedikit terkejut saat melihat barang bawaanku yang cukup banyak. Mungkin saat memasukkan semuanya, aku sedang tidak bisa berpikir benar, yang aku inginkan hanya pergi yang jauh untuk melupakan. Sampai-sampai aku seperti akan pindah tempat tinggal dengan membawa hampir seluruh pakaian.

“Oke. Restart semuanya, Sahila,” gumamku sambil memegang kepala.

Dan saat sedang membuat ritual membereskan baju sambil melamun, aku diganggu oleh suara langkah buru-buru yang terdengar menaiki anak tangga. Pintu kamar yang memang terbuka memunculkan wajah menyebalkan Aldeo yang sempat kulupakan kehadirannya di sini. Dia yang mengantarku ke sini menggunakan mobil ayah yadi pagi. “Lo beneran mau tinggal di sini sendirian, La?” tanyanya seraya menghampiriku.

Monokrom [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang