Hujan lebat di kota Seattle bukan hal yang luar biasa. Hal ini sudah sering terjadi bagi masyarakat kota. Meskipun demikian, hujan ini tak akan berlangsung lama karena kedatangannya tidak tepat. Saat ini masih musim panas dan daun pohon oak belum menguning. Sekitar setengah jam sudah berlalu, Rain mengecek sebuah arloji di tangan kirinya. Kemudian mendecak kesal setelah memastikan bahwa ia benar-benar terlambat pulang kerumah. "Ayah akan menghabisiku" ujarnya pada dirinya sendiri seraya mengerutkan alis. Kemudian ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya saja. Masa bodoh dengan hujan. Toh, itu hanyalah butiran-butiran air yang datang keroyokan dan berjatuhan tak beraturan. Rain menarik sepedanya yang bersandar di dinding sisi kanan sebuah toko roti. Kemudian membalikkannya spontan, ia sedikit meloncat untuk naik. Dengan satu tarikan nafas, ia kemudian mengayuh sepedanya menjauhi bangunan dan mengikuti jalan besar menuju rumah.
Sesampainya di rumah, tubuhnya tentu basah kuyup. Air menerobos masuk dari rongga mungil di sweater abu-abu yang ia kenakan. Rambut panjangnya menjatuhkan tetesan-tetesan air di depan pintu kayu depan rumahnya. Dari depan pintu yang sedikit terbuka, ia memanggil-manggil nama 'Ron' seraya sedikit memeras lengan sweater dan rambutnya. Seorang pria muda dengan tuksedo dan rambut tertata rapi muncul dari balik pintu sambil menatap keheranan. "What the hell is going on?" Gerutu pria tersebut.
"Aku tau, aku tau. Sekarang, bantu aku sebelum aku mati kedinginan."
Pria itu membukakan pintu kayu tersebut kemudian masuk ke dalam tanpa mengatakan apapun. Sekitar dua menit kemudian ia muncul lagi sambil membawakan handuk dan sebuah kaos. Pria itu melemparnya pelan pada Rain.
"Bagaimana kau bisa terlambat begini?"
Rain menggosok rambutnya dengan handuk putih tersebut. Sedikit ada jeda baginya untuk menyadari bahwa ia memang harus mengganti bajunya di depan pintu. Pria itu menatap Rain dengan jawaban yang sudah tersampaikan di matanya. Tanpa komplain, Rain membuka sweaternya dan dengan segera memakai kaus hitam yang milik kakaknya. "Kau benar-benar menyusahkan rupanya" ujar Ron.
"Hey, ayolah. Kau tahu festival sekolah bersifat kondisional"
"Ya, dan sangat kondisional ketika kau lupa waktu. Cepatlah, ayah masih mandi. Kau harus bergegas"
"Rapikan barangku kalau begitu, bye!" Ujarnya seraya meninggalkan baju, handuk, dan tas basahnya di depan pintu. Ia berlari kecil menuju lantai dua. Kemudian membersihkan diri, memilah gaun, dan berdandan. Butuh waktu sekitar setengah jam baginya untuk menyelesaikan urusannya sebagai wanita yang akan menghadiri acara pernikahan saudara ayahnya.Suara mobil terdengar dari garasi ketika Rain sedang mengoleskan pemerah di bibirnya. Sedikit tergesa-gesa ia kemudian meninggalkan semua alat riasnya dalam keadaan tak terkendali. Ia meraih sepatu ber-hak tinggi dari dalam lemari sepatu pribadinya kemudian berlari menuruni tangga dengan langkah tak santai. "Ayah benar-benar akan membunuhku" gerutunya dalam hati. Sampai di bawah, ia menemukan Ronnie Marshal dan Renata Marshall berdiri didepan pintu masuk sambil menatapnya. Renata mendengus melihat kelakuan adik bungsunya. Sedangkan Ronnie tersenyum sambil melebarkan lengannya dan merangkul Rain. "Kau cukup mahir berdandan dalam waktu yang sangat singkat rupanya"
"Diamlah. Kalau tidak begini, ayah bisa membuatku hilang dari muka bumi"
"Haha, sudah kukatakan bukan? Kau sebaiknya pulang sesuai jam sekolah. Tapi ternyata kau mudah tergiur dengan festival membosankan"
"Hey, bukan begitu. Aku harus memotret beberapa moment dan objek"
"Objek? Pria dengan pipi bolongnya yang lebih pantas di sebut wanita?"
"Hentikan Ron. Pria itu manis" Rain mengerutkan kening dan mendecak kesal pada kakaknya. Setelah selesai dengan tali temali di sepatu putihnya, Rain berdiri tegap sambil tersenyum pada Ronnie. "Bagaimana? Apa aku sudah pantas menjadi mempelai?" Tanyanya seraya melebarkan gaun selututnya kesamping. "Haha, sangat pantas. Dan aku adalah mempelai priamu" jawab Ron sambil merapikan sedikit rambut di kening Rain yang menutupi alis dan matanya. Kemudian ia merangkul adiknya keluar rumah menuju mobil."Ini acara penting dan kau hampir merusaknya" kalimat pertama ayahnya yang ia dengar hari ini. Rain yang duduk disebelah ayahnya merasakan detak jantungnya berlomba di pacuan. "Hujan ayah" ujarnya mencari alibi.
"Kau seharusnya tahu kondisi. Kalau kau pulang tepat waktu, kau tak akan terlambat atau kehujanan begini." Omel Mr. Ethan Marshall yang kemudian mengendarai mobilnya di tengah hujan kecil menuju Falcony Garden. Tempat dimana adik perempuannya merayakan pernikahannya yang ke tiga setelah beberapa kali cerai dengan dua orang yang berbeda.Sesampainya di tempat acara, Rain sedikit merapikan aksesoris di rambutnya yang hampir jatuh. Setelah turun dari mobil, ia menggandeng tangan Ron dengan manja, Ron hanya tertawa kecil dengan tingkah adik bungsunya. Sementara Renata menggandeng tangan ayahnya dan berlalu dengan cepat memasuki area acara. Disini tak ada hujan lebat maupun gerimis. Langitnya cerah dan sinar mataharinya membantu proses fotosintesis dengan cepat. Mereka pun turut masuk melalui gerbang putih yang dihiasi tanaman palsu. Acara yang diselenggarakan di ruang terbuka seperti ini memang menarik. Apalagi Rain dapat memotret dengan jelas setiap moment yang ingin ia abadikan tanpa khawatir kekurangan pencahayaan. Tentu saja dalam tas selempang kecilnya, selalu ada kamera polaroid mungil yang selalu ia bawa kemanapun dan kapanpun.
Seperti acara-acara resepsi pernikahan pada umumnya. Dimana ia harus mendengarkan orang dewasa berceramah, memberi sambutan membosankan, dan melihat mempelai berciuman didepan umum berkali-kali hanya untuk memamerkan bahwa mereka adalah pasangan baru yang telah resmi. Rain lebih memilih menyapa makanan-makanan lezat yang dihidangkan daripada harus bersikap sok akrab pada orang-orang tak dikenal meskipun sebenarnya ia masih dalam silsilah keluarga yang sama. Ron sedang sibuk bercengkrama dengan pria-pria sebayanya di samping meja wine. Rain berusaha menemukan kegiatan yang takkan membuatnya mati karena bosan. Ia pun mengeluarkan kamera polaroid dari tas kecilnya dan memulai kegiatan termenyenangkan baginya yang pernah ada. Ia memotret dari sudut ke sudut. Banyak wajah yang masuk ke dalam hasil pengabadiannya. Lembar tiap lembar mulai menghasilnya foto jernih yang memiliki cerita disetiap lembarannya. Sekitar dua puluh menit berlalu, ia kemudian duduk di samping Ron dan melihat-lihat hasil foto yang jumlahnya tak sedikit. "Kau sudah memotretku?" Tanya Ron.
"Apakah itu perlu?" Jawabnya tanpa melihat lawan bicaranya.
"Tentu saja, atau ku ambil hak milik kamera tersebut"
"Astaga, baiklah... baiklah..." Rain memotret Ron dari samping tempat ia duduk. Setelah mengeluarkan hasil foto, Rain melihat sejenak foto tersebut kemudian menyodorkannya pada Ron. Tapi, tunggu. Ada sesuatu yang sekilas aneh pada foto tersebut. Ia kemudian merebut kembali foto itu dan memperhatikannya seksama. "Ron..." ujarnya seraya sedikit menganga karena terkejut.
"Ya?"
-"apa?"
-"hey?"
-"Rain!" Teriak Ron membuyarkan lamunannya.
"Tunggu, Ron, kau tahu siapa mempelai pria Madam Raline?"
"Tentu saja, namanya Mr. Lucas Stanislave. Pemilik perusahaan roti di kota. Kau tahu? Madam benar-benar hebat dalam mencari mangsa"
"Ron..."
"Hm?"
"Eden Stanislave."
"Apa? Siapa?"
"Pria yang menjadi 'objek'ku dan sekarang adalah sepupu tiriku?"
"What? Apa maksudmu? Pria lesung pipi itu? Eden? Anak Mr. Stanislave? Kau yakin?"
Tangan Rain melemas ketika memperlihatkan foto itu pada Ron.Eden Stanislave. Sang matahari bagi wanita hujan, Rain. Mengenakan tuksedo putih dengan dasi kupu-kupu. Ia terlihat berseragam sama dengan keluarga Stanislave. Sebuah pertanda buruk bagi Rain.
To be continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
CIRCUMSTANCES
RomanceGadis musim hujan yang mencintai matahari. Kehidupan yang mematikan? atau Kematian yang menghidupkan?