〰 EMPAT 〰

32 3 0
                                    

    Sidang selesai setelah satu jam lebih berlangsung. Festival sekolah pun sepertinya sudah dibuka. Ron mengantar Rain dan Finn ke sekolah tepat setelahnya. Keputusan sidang belum ditentukan arahnya. Namun hasil akhir sementara mengatakan bahwa ayah Finn memang bersalah.
    Setelah sekitar dua puluh menit, mereka sampai di sekolah. Dengan gerbang yang terbuka lebar, tampaknya festival hari terakhir hari ini memang lebih meriah dari sebelumnya. Finn dan Rain bergegas menuju booth mereka. Setelah dipenuhi rasa cemas, Finn mendapati teman-temannya telah bekerja sama dengan baik. Ia sangat berterima kasih karena mereka mampu melakukannya dengan intruksi satu sama lain. Meskipun demikian, Finn masih merasa bersalah karena meninggalkan tanggung jawabnya sebagai kapten. Ia kemudian mengambil alih kendali dalam booth mereka. Rain lega setelahnya.
    Seperti anak yang independen, Rain berkeliling untuk melihat jalannya festival. Hari ini cukup berdesakan dan sedikit sulit mengambil gambar dengan tenang. Ia beberapa kali harus mengangkat kameranya lebih dari ketinggian badannya untuk mengambil foto. Namun, hasilnya tetap bagus. Di sudut jalan, ada sebuah booth dengan konsep kerajaan. Rain sangat antusias dan mendekati lokasi tersebut. "Hey" sapa Rain acak kepada beberapa orang disana.
"Hey, girl. Kau sendirian?"
"Ya, begitulah. Umm, apa ini?" Ia menunjuk sebuah benda dibalik lemari kaca yang bentuknya mirik seperti sebuah kalung tua.
"Ini benda milik pangeran. Ia melelangnya karena sudah bosan katanya"
"Ah? Begitu ya. Ini cantik. Berapa harganya?"
"Tunggu- Hey! Prince Slave! Seseorang mencarimu disini!" Teriak pria tersebut. Mendengar nama yang dipanggil, Rain sedikit tertawa. Kemudian, seorang pria berpakaian bak kerajaan muncul dari kerumunan dengan senyum yang merekah. "Siapakah gerangan?" Ujar pria tersebut. Rain menatapnya dengan sedikit terkejut dan meremas pelan kamera ditangannya. "H-he-hey" sapa Rain terbata-bata.
"Hai, nona. Apa kabar?"
"B-baik. Sejauh ini baik-baik saja"
"Jadi? Ada apa?"
"Ha-?" Rain semakin bingung dengan pertanyaan tersebut. Namun pria yang tadi memanggil sang pangeran menjelaskan apa yang terjadi.
"Ah? Kau tertarik pada benda itu?"
"Ya, mungkin"
"Ini adalah gantungan belakang pintu. Bentuknya sedikit dikecilkan karena pernah digunakan sebagai kalung oleh saudariku. Sebenarnya, liontinnya ada dua. Yang satu berbentuk butir salju, yang satunya tetesan hujan. Namun, yang kau lihat sekarang adalah butir salju. Aku tak sengaja menghilangkan liontin yang satunya. Meskipun demikian, bukankah ini tetap terlihat cantik?"
"Mm hm, ya. Sangat cantik. Kenapa kau menjualnya? Ini terlihat berharga"
"Aku hanya sudah tak membutuhkannya lagi. Ini memang sebuah peninggalan"
"Oh ya? Dari siapa?"
"Seorang wanita yang pernah kucintai"
Rain terdiam sesaat.
"Mm, jadi? Kau tertarik membelinya?" Tanya pria tersebut.
"Ya, berapa kau menjualnya padaku?"
"Mmm, kuberi kau lima puluh dolar"
"What? Kau bercanda? Mahal sekali"
"Baiklah, karena kau bilang itu terlalu mahal, kuberi kau empat puluh dolar"
"Bagaimana ini? Aku benar-benar menginginkannya"
"Okay, karena kau menginginkannya, kujadikan tiga puluh dolar"
"Aku masih tak bisa. Padahal itu adalah kalung yang cantik"
"Dan karena kau mengatakan bahwa itu benda yang cantik, kuberi kau dua puluh dolar"
"Astaga. Aku harus bagaimana? Aku masih anak SMA"
"Hmm, karena kau masih anak SMA, kuberi sepuluh dolar. Ah- hey tunggu! Kita memang masih SMA" pria tersebut tertawa dan menampakkan lesung di kedua sisi pipinya.
"Haha, benar juga"
"By the way, siapa namamu? Kalau namamu cantik, aku akan mempertimbangkan diskon lagi untukmu"
"Aku? Mm, Rain. Raina Marshall"
"Marshall? Rain? W-wait? Keluarga Marshall?"
"Hay, sepupu baruku, Eden Stanislave"
"Astaga! Jadi? Kau adik Renata?"
"Ya, anak bungsu Mr. Ethan Marshall"
"Oh God, sejak tadi kau mengenaliku? Kenapa tak mengatakan apapun?"
"Karena kau tak menanyakan apapun"
"Wow, cukup sarkasme rupanya" Eden kemudian mengeluarkan benda tersebut dari lemari kaca. "Kau menginginkannya?" Tanyanya sambil menggantungkan kalung tersebut ditangannya.
"Mm, ya"
"Baiklah karena kau sepupuku, aku akan memberikannya saja padamu. Kau tak usah membelinya"
"Sungguh?"
"Ya, tentu saja. Kemarilah. Karena kau cantik, aku akan memakaikannya untukmu" mendengar hal tersebut, Rain seakan tersambar petir dan menjadi kaku seketika. Matanya menatap Eden penuh cahaya. Rain terdiam sampai Eden kemudian menarik lengannya mendekat dan sedikit memutar badannya untuk memakaikan kalung tersebut di pundaknya.
"Wow. Sangat cocok" ujar Eden setelah memasangkan kalung tersebut. Rain kemudian terkesiap dan menyentuh benda di lehernya. Ia tersenyum lebar sambil menatap benda tersebut. "Terima kasih" ujarnya tanpa memandang lawan bicaranya.
"Sure. Kuharap kau menjaganya"
"Pasti. Aku akan menjaganya sebaik mungkin."
"Okay. Umm, bukankah besok acara makan malam keluarga Marshall?"
"Ah, iya. Dirumah mad- eum, maksudku dirumah ibumu kan?"
"Ya, kau hadir?"
"Mungkin. Kita lihat saja nanti"
"Yah, kuharap kau datang"
"Kenapa?"
"Kita harus akrab. Kudengar, kau satu-satunya sepupuku yang sebaya?"
"Ah, iya. Kau benar"
"Kita harus mengobrol banyak hal"
"Baiklah, akan kunantikan"
"Senang bertemu denganmu, Rain"
"Aku juga, Eden". Eden mengulurkan tangannya kemudian disambut dengan hangat oleh Rain. Mereka berjabat dengan senyum merekah di wajah masing-masing. Yang bisa dipastikan, Rain benar-benar bahagia.
     Sebelum pergi, Rain sempat ragu untuk menanyakan sesuatu pada Eden. Setelah memberanikan diri, ia kembali ke tempat Eden berada kemudian mengajaknya untuk mengambil foto bersama.
"Prince Slave? Mau berfoto denganku?"
"Ahaha? Jangan memanggilku begitu. Adam keterlaluan. Jangan menirukannya. Aku Prince Eden, bagaimana bisa menjadi budak?"
"Haha, maafkan aku. Aku tahu ia hanya bercanda."
"Oh iya, foto? Baiklah."
Rain memberikan kamera mungilnya pada salah seorang disekitar mereka kemudian meminta tolong untuk mengambilkan gambar. Rain berdiri tepat disamping Eden, kemudian tersenyum selebar-lebarnya. Tanpa aba-aba, Eden merangkul pundak Rain dan sedikit mengejutkan. 'Ceklek' shutter kamera berbunyi, kemudian mengeluarkan selembar foto polaroid. Setelah kameranya kembali ke tangannya, ia mengambil lembaran tersebut dan sedikit mengibas-ibaskannya. Setelah beberapa saat, foto tersebut jadi dan memperlihatkan dirinya dan Eden. Melihat hal itu, ia tersenyum. "Wah, timing yang sangat bagus" komentar Eden pada foto tersebut.
"Haha, begitu pula dengan objeknya" Rain tersenyum pada Eden, begitu pula sebaliknya. "See you tomorrow, Eden"
"See you, Rain. Dan, kalung barumu."
"Haha" Setelah berpamitan, ia kembali ke booth, tempat dimana Finn berada dan 'mungkin' menunggunya.

    Sambil tersenyum, Rain menyapa Finn yang sedang sibuk membenarkan sebuah gantungan disisi booth. "Dari mana saja kau?" Tanya Finn.
"Aku? Hm, menyapa matahari dari mimpi burukku" ujarnya dengan senyum yang merekah.

to be continued ...

CIRCUMSTANCES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang