15: Penolakan Pertama

10.7K 1.3K 208
                                    

XV

// Penolakan Pertama //

"Mamama?" teriakan Fani yang terdengar dari luar rumah mengundang gelak tawa Karina dan membuat perempuan itu langsung berlarian keluar dari kamarnya. Hari Sabtu pagi, seperti biasa, Feisal mengantarkan Fani ke rumah Karmila. Berhubung tidak ada kelas, Karina langsung dengan bahagia menyambut kedatangan anak-bapak itu untuk bermain bersama. Tawanya keluar melihat cara berjalan Fani yang masih kagok seakan tidak mengenal tanda berhenti.

"Mamama, Nti?" tanya Fani sekali lagi pada Karina yang kini tengah sibuk mencubiti pipi gembulnya karena gemas. "Nti!" Fani menggerutu kesal karena pipinya dicubiti.

Gadis itu bukannya berhenti malah makin menjadi. "Kenapa cari-cari Mama? Sini sama Onti Na aja. Kamu udah makan belum?"

"Lum," ujar Fani sambil meronta minta dilepaskan genggaman tangannya dari tangan Karina.

"Bukan lum, Fani. Belum. Coba ulang sekali lagi, Fani," Karina kini berjongkok agar bisa menatap lurus mata hitam Fani.

Anak itu langsung terlonjak dan mengikuti perintah tantenya, "Um." Fani selalu paling takut salah berbicara jika berhadapan dengan Onti Karina dan Mamanya. Dua orang itu selalu mengoreksi kata-katanya bila tidak sesuai dengan cara bicara mereka. Wajah mereka pun selalu sama menyeramkannya bagi Fani jika sudah mulai mengoreksi cara bicaranya yang kadang masih salah-salah itu.

"Nah, itu belum benar malah tambah kacau. Okelah! Jadi, kenapa Fani belum makan?" Karina bicara sambil membimbing Fani berjalan menuju dapur.

Anak laki-laki itu berpikir keras. Dua alis matanya beradu dan bibirnya mengerucut. Kalau dilihat lagi, ekspresi ini sama persis dengan hal yang selalu dilakukan oleh Johan jika sedang memikirkan persoalan yang rumit. Karina tergelak. "Kok kamu jadi mirip Uncle Jo kalau lagi pusing urusan kantor sih, Fani. Onti kan cuma nanya, kenapa Fani belum makan?"

"Papapa," akhirnya Fani memberi jawaban juga.

Oke, kalau sudah keluar bahasa planet begini, Fani harus dikoreksi sekali lagi. "Apa, Fani? Papa maksudnya Fani? Fani belum makan karena naik mobil sama Papa ke sini?"

Sebuah anggukkan antusias diberikan oleh bocah lelaki itu. Matanya bersinar-sinar senang karena tantenya mengerti apa yang dia katakan. "Papapa. Mamama, Nti! Mama!"

"Mama lagi kerja, sayang. Kamu main dulu sama Onti, oke? Kita main bola, mau?"

"Mamamaa! Mamamaa!" Fani mulai merengek. "Mamama?"

"Loh kok nangis? Nanti Onti nggak kasih cookies loh kalau kamu nangis. Jagoan nggak boleh nangis, Fani. Mama kan lagi kerja cari uang buat beli susu Fani," Karina memberikan penjelasan paling sederhana untuk Fani yang hampir menangis kejar karena tidak menemukan Mamanya di Sabtu pagi.

Untung saja Feisal lalu mengambil alih dengan menggendong Fani. "Kok anak Papa nangis? Mama lagi kerja, Fani. Kamu main dulu sama Papa di sini. Kan ada Onti Karina juga. Eh, Onti Na bisa bikin balon loh, Fani. Mau lihat nggak?"

"Uh?" akhirnya Fani tidak jadi menangis.

Feisal senang karena anaknya mulai bisa menerima keadaan bahwa Karmila sedang tidak ada untuk bermain bersamanya. "Iya, balon kayak yang kita dapat dari tempat potong rambut kemarin. Onti Na bisa buatin untuk Fani. Iya kan, Onti Na?"

"Iya. Tuh, ada banyak di kamar Onti Na. Nanti Onti Na buatin, tapi kamu makan dulu. Masa jagoan mau main balon tapi belum sarapan. Oke?"

Mendengar kata banyak dan sarapan, Fani seketika kembali mengangguk antusias. Untuk sementara dia lupa bahwa semalam Papanya menjanjikan waktu bermain seharian dengan Mamanya. Fani juga lupa bahwa tadi pagi dia tidak mau sarapan karena ingin makan disuapi oleh Karmila. Semua hal tentang Karmila yang sejak semalam sudah membuatnya begitu heboh, kini mulai berkurang dan digantikan oleh yang lain. Setidaknya Fani tidak harus larut dalam kekecewaan terlalu lama.

KarmilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang