1.We Call Her, Purba!

22 7 6
                                    

"Purba dateng! Purba dateng!" teriak Velove memenuhi selasar kelas. Dengan cepat, siswa-siswi memghambur berarakan ke depan. Sibuk memenuhi selasar kelas. Beberapa diantaranya ribut berbisik, selebihnya lebih menunjukkan wajah penasaran.

"Weiss, purba makin lama datangnya makin lama aja!" ujar Velove ketika kaki gadis berkuncir kepang lalu dicepol dua itu akhirnya terlihat berada diujung lorong, berjalan ragu menuju kelasnya yang terletak paling pojok, XII-IPA 3. Sepatunya yang hitam lusuh, pelan-pelan berjalan diatas lantai marmer itu. Velove menghampirinya, menyambutnya dengan sukacita, seperti biasa.

"Purba repot bantuin Ibu ya, pagi-pagi?" tanya Velove lagi makin sok akrab.

Ia kemudian merangkul gadis itu, membuat siswa-siswi yang menonton mereka makin heboh. Sibuk mengomentari seperti, Ish, kok mau sih tangan mulusnya Velove ngerangkul si lusuh? Ew, itu si Velove gak repot nanti harus cuci tangan tujuh kali pakai tanah? atau kata-kata yang lebih sarkastik seperti Nanti si Velove ketularan dekil lagi sampai jadi putri kemuning didongeng-dongeng dan berbagai reaksi lainnya.

Velove tersenyum singkat, makin dipereratnya rangkulan itu.

"Purba kali-kali angkat dong kepalanya! Kenapa sih nunduk melulu, gak punya leher ya?" tanya Velove membuat hingar bingar tawa. Gadis berrok ngatung itu mengepalkan tangannya, mencengkram roknya kuat-kuat.

"Lala gak suka dipanggil purba! Nama Lala bukan Purba!" bentak Lala kecil, bahkan hampir tak terdengar. Namun justru, Velove menghentikan langkahnya. Dengan cepat ia berjalan maju, lalu menarik kerah Lala.

"Apa tadi lo bilang?" bentak Velove membalikan tubuh Lala.

Lala menenguk salivanya kasar, ia makin mencengkram roknya. Pelupuk matanya telah penuh air mata, entah kapan akan turun dan mengalir deras dari mata hitam legamnya. Ia menggigit bibir bawahnya, berkali-kali merutuki dirinya sendiri dalam hati, mengapa bisa-bisanya bibirnya mengeluarkan kata-kata itu!

"Udah dua tahun lebih gue nungguin lo ngomong selain disuruh guru! Sekalinya ngomong, lo bentak gue? Hah?" bentak Velove tepat diwajah Lala, membuat Lala berdiri gemetar.

Velove menghembuskan nafasnya kasar."Apa lo bilang tadi? Lo gak suka gue panggil Purba?" tanya Velove kembali lembut, meredakan emosinya yang sebelumnya meledak-ledak. Ia memasangkan senyum manisnya. Lalu mengitari tubuh Lala sambil memegangi rambutnya centil.

"Emang nama lo siapa? Kenalan dong!" ujar Velove berhenti tepat didepan wajah Lala.

"Siapa?" tanya Velove sambil mengulurkann tangan kanannya, mengajak berkenalan. Lala diam, begitu juga dengan yang lainnya, menunggu jawaban Lala yang entah berani menjawab atau selamanya akan bungkam seperti ini.

Velove kembali makin mendekati uluran tangannya, mengingatkan Lala bahwa tangannya masih menggantung diudara, menunggu gadis yang disebut-sebut Purba ini menyambut tangannya.

Lala menahan air matanya. Tidak, tidak untuk pagi ini. Titahnya pada matanya, ia lelah harus menumpahkan air mata tiap pagi. Ah, bukan hanya pagi, mungkin sepanjang harinya. Mengapa hidup dalam sekolah ini sangat sulit bahkan untuk sekedar mencari oksigen?

"Hei!" ujar Velove keras, sedikit membuat Lala tersentak.

"Lo selain gak bisa ngomong bahasa gaul, ternyata gak bisa ngomong bahasa manusia juga ya?" ujar Velove, lagi-lagi membuat seantero siswa/i tertawa. Lala meneguk salivanya kasar.

"La-la Lacliva Lana Azurra." ucap Lala akhirnya, walau terbata-bata namun tegas. Velove berdecih, persis ludahnya menghinggapi sepatu Lala yang beberapa diantaranya terdapat sobekan.

"Lacliva Lana Azurra, mana pantes buat jadi nama cewek kampung dan idiot kayak lo!" teriak Velove membuat seisi kelas itu berseru setuju! Seketika semua segera menimpuki sang pemeran utama dengan kertas yang sudah digumpal-gumpal. Pertunjukan biasa tiap pagi, sudah menjadi sebuah tradisi untuk menyambut seorang Lala dengan 'hangat'.

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang