"Lara, ayo cepetan! Nanti keburu telat!"
Kakiku semakin cepat menuruni anak tangga ketika Bunda berteriak nyaring di halaman rumah. Dari suaranya, bisa kutebak bahwa Bunda sedang marah. Duh, ini semua salahku. Tadi pagi, aku bangun terlalu siang sehingga harus membuat Bunda dan Kak Senja menunggu terlalu lama.
Aku melangkah semakin cepat. Hampir saja, aku terjatuh karena menginjak tali sepatu yang belum sempat diikat oleh Bi Sri. Bunda sudah marah-marah sejak tadi sehingga Bi Sri tergopoh-gopoh dibuatnya. Aku sangat takut jika melihat Bunda marah. Meski, setiap hari dan setiap saat Bunda selalu marah kepadaku, tetapi aku masih suka ketakutan. Semua yang aku lakukan tak pernah benar di mata Bunda. Hal itulah yang membuat Bunda selalu memarahiku.
Aku harus cepat sampai di halaman rumah sebelum Bunda berteriak lagi. Jika sampai marah Bunda semakin besar, maka Bunda tak akan segan-segan mengunciku di dalam kamar mandi seperti dulu ketika aku telat bangun di hari Minggu. Tidak! Aku tidak ingin merasakan lagi dinginnya kamar mandi.
"Maafkan Lara, Bun," ujarku lirih ketika aku sudah berada di samping mobil Bunda. Bunda dan Kak Senja sudah masuk mobil terlebih dahulu. Mungkin, mereka terlalu lelah menungguku.
Kaca mobil milik Bunda bergerak perlahan. Kutundukkan kepalaku, takut menatap mata Bunda. Tanganku saling meremas satu sama lain. Aku takut, aku takut jika Bunda akan memarahiku dengan kata-katanya yang menyakitkan. Aku takut jika nanti aku menangis, mataku akan sembab dan teman-temanku di sekolah akan menanyaiku dengan pertanyaan-pertanyaan aneh.
"Kamu tahu sekarang sudah pukul berapa?" Bunda bertanya dengan suara yang rendah. Tak seperti tadi ketika berteriak memanggilku.
Kuangkat kepalaku pelan-pelan agar dapat menatap wajah Bunda. Aku tak perlu takut lagi karena sepertinya Bunda sudah tidak marah lagi. Namun, yang aku dapati saat itu masih sama. Wajah penuh amarah yang siap meledak kapan pun. Bisa kulihat, bibir Bunda bergetar. Giginya mengerit karena marah. Dengan cepat-cepat, kutundukkan wajahku kembali. Tubuhku semakin bergetar hanya dengan menatap matanya.
"Maaf, Bunda," cicitku. Suaraku semakin melemah, volumenya lebih kecil daripada tadi.
"Kamu tahu, saya dan Senja jadi telat-telat gara-gara nunggu kamu!"
Lagi. Bunda berteriak di depan wajahku. Tubuhku semakin bergertar ketakutan. Mataku memanas. Ingin rasanya, aku menangis saat itu. Namun, percuma saja, Bunda tidak akan mengasihaniku, justru ia akan semakin marah jika aku terlalu cengeng.
"Bunda, Lara kan sudah minta maaf. Kenapa Bunda malah memarahi Lara?"
Kuangkat kepalaku, menatap Kak Senja yang saat itu tengah duduk di kursi mobil di samping Bunda. Kak Senja menatapku iba. Kak Senja sangat baik kepadaku, dia selalu membela ketika Bunda memarahiku.
Kulihat Bunda tersenyum manis, senyum yang tak pernah ia tujukan kepadaku. Tangan Bunda membelai rambut panjang Kak Senja yang selalu tergerai dengan lembut. Wajah Bunda yang penuh amarah seketika lenyap karena pertanyaan Kak Senja. Ya Allah, terkadang aku iri melihat Kak Senja yang selalu disayang dan diperhatikan oleh Bunda, seakan-akan Bunda hanya memiliki satu anak saja. Maafkan Lara, Ya Allah.
"Lara sudah membuat kesalahn besar, Sayang. Jadi, sudah sewajarnya jika Bunda memarahi dia."
Sayang? Panggilan itu sangat ingin aku dengar ketika Bunda memanggilku. Namun, sepertinya panggilan itu hanya untuk Kak Senja seorang.
"Tapi, Lara kan sudah minta maaf, Bun?" Kak Senja bertanya lagi.
"Bagi Bunda, maaf saja tidak cukup, Sayang. Dia sudah membuat kita hampir terlambat. Bukankah, hari ini kamu ada upacara?"
Kak Senja mengangguk pelan. Bunda tersenyum lembut ke arahnya. Namun, senyum itu seketika hilang ketika Bunda menatapku.
"Cepat masuk!"
"I-iya, Bun."
Dengan cepat-cepat, kulangkahkan kakiku menuju kursi penumpang sebelum Bunda berubah pikiran dan akan memarahiku lagi karena terlalu lamban. Kubuka pintu mobil dan langsung duduk di atas kursi yang sangat empuk. Namun, Bunda tak kunjung melajukan mobilnya. Tampaknya, Bunda masih sibuk mengacak-acak isi di dalam tasnya.
"Kenapa Bun?" Baru saja aku ingin bertanya, Kak Senja sudah mendahuluiku.
"Bunda lupa membawa ponsel, Sayang." Bunda menoleh ke belakang, menatapku yang saat itu tengah menatapnya juga. "Lara, bisa kamu ambilkan ponsel saya di kamar?"
"Biar Senja saja yang ambilkan, Bun. Lara pasti masih capai." Aku tersenyum tipis, Kak Senja memang baik. Dia yang paling mengerti tentang diriku.
Kak Senja akan membuka pintu mobil, tetapi Bunda langsung mencegahnya. "Tidak, Sayang. Bunda menyuruh Lara, bukan kamu," ujar Bunda penuh penegasan. Bunda menatapku dengan tajam melalui sudut matanya.
"Iya, Kak Senja biar Lara saja yang ambilkan. Sebentar ya, Bun, Lara ambilkan dulu ponselnya."
Aku langsung lari ke kamar Bunda yang berada di atas. Aku tak ingin Bunda marah lagi karena harus menunggu terlalu lama. Setelah sampai di kamar Bunda, aku mencari ponsel yang selalu dibawa oleh Bunda. Aku masih ingat bagaimana bentuk dan warnanya. Namun, benda persegi panjang berwarna hitam itu tak kutemukan juga. Padahal, aku sudah mencarinya di setiap sudut kamar Bunda.
Akhirnya, dengan tangan kosong, aku keluar dari kamar Bunda. Aku sudah mempersiapkan diri untuk menerima amarah Bunda.
"Lho, Non Lara belum berangkat juga?" Suara seorang wanita yang sangat kuhafal menghentikan langkahku. Aku tersenyum melihat Bi Sri berdiri di depan pintu dapur. Aku pun langsung menghambur ke arahnya.
"Bi Sri tahu ponsel Bunda di kamar? Lara tadi sudah mencarinya, tapi tidak ketemu juga."
Kulihat Bi Sri bersimpuh di depanku, mensejajarkan tingginya dengan tinggiku yang masih 126 cm. Tangannya membelai rambutku lembut, belaian yang tak pernah aku dapatkan dari tangan milik Bunda.
"Non Lara tadi enggak berangkat sama Bunda?" tanya Bi Sri lembut, seperti biasa.
"Bunda masih nunggu di mobil, kok, Bi. Tadi, Lara disuruh ambil ponsel Bunda," jawabku seraya tersenyum lebar. Namun, kulihat wajah Bi Sri terkejut mendengar jawabanku. Aku pun bertanya kembali, "Kenapa, Bi?"
"Tadi Bibi dengar mobilnya Bunda sudah pergi."
Aku melebarkan mataku seketika. Tidak, tidak mungkin Bunda meninggalkanku begitu saja. Bunda tidak mungkin sengaja menyuruhku untuk mengambil ponselnya. Dengan cepat, aku lari keluar rumah. Tampaknya, Bi Sri juga mengikutiku di belakang. Entahlah, aku tak ingin memedulikannya, saat ini aku hanya ingin memastikan apakah benar Bunda meninggalkanku.
"Bunda ...."
Seketika, aku terduduk di atas lantai teras ketika mengetahui mobil Bunda yang terparkir di halaman rumah sudah tidak ada lagi. Air mata jatuh tanpa kusadari. Ternyata, Bunda memang benar-benar tega meninggalkanku.
"Non Lara?"
Kudongakkan kepala, menatap Bi Sri yang saat ini tengah menatapku iba. Matanya menyiratkan kesedihan. Kulihat, Bi Sri ikut bersimpuh di sampingku. Memeluk tubuhku yang bergetar karena tangis. Bi Sri ikut menangis. Aku bisa merasakan air matanya jatuh di puncak kepalaku.
"Kenapa Bunda tega meninggalkan Lara, Bi? Lara juga ingin berangkat ke sekolah bersama Bunda. Kenapa Bunda tega melakukan ini kepada Lara, Bi?" Air mataku semakin deras mengalir. Bi Sri hanya mengusap punggungku dengan sayang. Setidaknya, perasaanku lebih tenang ketika wanita yang telah aku anggap sebagai ibuku itu mengelus punggungku, seperti ibu teman-temanku yang selalu membuat mereka tenang ketika menangis hanya dengan usapan lembut yang diberikannya. Aku berharap, suatu saat nanti, Bunda akan melakukan hal yang sama seperti Bi Sri ibu teman-temanku.
Bi Sri melepaskan pelukannya. Menangkup pipiku dengan kedua tangannya yang terasa kasar, tetapi bagiku itu adalah tangan terlembut di dunia, tangan yang selalu membelai rambut dan mengusap punggungku dengan penuh kasih sayang. "Non Lara jangan menangis lagi, ya. Sekarang, Non Lara pergi ke sekolah naik bus sama Bibi, ya."
Bi Sri menghapus air mataku, lalu memeluk tubuhku kembali. Aku mengangguk sebagai tanda menyetujuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara di Ujung Senja
ChickLitLara. Itulah namaku. Nama itu adalah pemberian dari Bunda. Wanita yang sangat membenciku dan berharap aku tak pernah lahir di dunia ini. Lara. Nama yang menurutku sangat indah karena itu diberikan oleh Bunda. Meskipun, Bunda memberiku nama seperti i...