Mataku membuka menutup berulang kali, mencoba membiasakan dengan cahaya sekitar yang sangat terang. Saking terangnya, sampai menyilaukan. Di mana aku? Apa aku masih di kamar mandi? Apa bunda masih mengurungku? Tapi, kenapa tubuhku tidak kedinginan.
"Syukurlah, Non Lara sudah bangun. Alhamdulillah, Ya Allah."
Aku alihkan pandangan ke samping dan melihat Bi Sri tengah tersenyum padaku. Di belakang Bi Sri juga ada Kak Senja yang sudah berseragam putih biru seperti biasanya. Memangnya, sekarang sudah pagi, ya? Perasaan, kemarin masih malam. Namun, kenapa cahaya di sekitar sini terang sekali? Apa jangan-jangan ....
"Bi, apa Lara sudah ada di surga?" tanyaku pada Bi Sri. Entah kenapa, aku bisa terpikirkan pertanyaan itu. Kata Bi Sri, orang yang sudah berada di surga, seperti ayah, tidak akan bisa kembali ke dunia. Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak mau berpisah dengan bunda sebelum bisa membahagiakannya.
Bi Sri menggeleng pelan. Kulihat, ada cairan bening yang menggenang di sudut matanya. Apa Bi Sri menangis? Tapi, kenapa? Apa aku mengatakan hal yang salah?
"Tidak, Non. Non Lara masih ada di rumah. Non Lara masih ada di sini bersama Bi Sri, Non Senja, dan bunda." Bi Sri menolehkan kepala ke belakang, tepatnya ke arah bunda yang sedang melipat kedua tangan di depan dada sambil bersandar ke tembok.
Bunda?
Kenapa aku baru sadar kalau ada bunda di sini? Apa bunda mengkhawatirkanku?
Meskipun lemas, aku tetap memaksakan senyum tersemat di bibir. Kutatap lekat wajah bunda yang tak menunjukkan ekspresi apa pun. Bahkan, senyumku pun tak dibalasnya. Perlahan, senyumku pun menghilang. Entah kenapa, hatiku terasa sakit sekali. Lebih sakit daripada saat jariku tertusuk jarum ketika menyulam untuk tugas Seni Budaya.
Bunda, kenapa bunda tidak pernah tersenyum padaku? Aku ingin sekali melihat senyum bunda. Pasti, bunda terlihat lebih cantik kalau tersenyum. Ingin sekali aku mengatakan itu pada bunda. Namun, aku takut bunda akan marah dan menghukumku lagi.
"Ini sudah pagi, ya, Bi?"
"Iya, Non."
"Lara mau pergi ke sekolah, Bi." Aku bangkit dari posisi tiduran dan duduk selonjoran sembari bersandar di kepala ranjang. Karena mengubah posisi secara tiba-tiba, kepalaku langsung terasa nyut-nyutan.
"Lara, kamu 'kan masih sakit. Enggak sekolah dulu juga enggak pa-pa. Nanti, kakak buatkan surat izin, deh," ucap Kak Senja yang entah sejak kapan sudah duduk di sisi ranjang, tempat Bi Sri tadi. Sementara itu, Bi Sri sudah berdiri.
"Iya, Non. Badan Non juga kelihatan masih lemes, meskipun demamnya sudah turun. Jangan sekolah dulu, ya," Bi Sri menambahkan. Raut wajah Bi Sri terlihat sangat khawatir. Ah, bahkan, bunda saja tidak mengkhawatirkanku. Kenapa Bi Sri yang bukan ibu kandungku saja khawatir?
"Enggak mau, Kak, Bi. Lara mau sekolah. Ada tugas yang harus Lara kumpulkan."
Tiba-tiba, aku teringat kalau tugas menggambar kemarin belum selesai karena bunda mengurungku di kamar mandi. "Oh, ya, aku lupa mewarnai gambaranku," ujarku sembari memasang wajah memelas. "Aku pasti dapat nilai jelek dari bu guru. Tapi, aku harus tetep masuk sekolah. Aku enggak mau ketinggalan pelajaran."
"Kalau gitu, bawa aja pensil warna kakak. Tugas kakak udah selesai, kok. Nanti, kamu kerjakan di sekolah aja. Untung-untung, kalau tugasnya dikumpulkan jam terakhir."
Mataku langsung terbuka lebar. Senyum lebar langsung tersemat di bibir ini. Mendengar perkataan Kak Senja, membuat hatiku bahagia. "Iya, Kak. Mapel Seni Budaya jam terakhir, kok. Berarti, Lara masih punya kesempatan untuk nyelesaiin tugas, ya? Asyiiikkk. Makasih, ya, Kak Senja. Lara sayang Kak Senja." Aku memeluk erat tubuh Kak Senja yang selalu wangi. Aku suka mencium aroma tubuh Kak Senja. Aku juga suka mencium aroma bunda, meski tidak pernah memeluknya seperti memeluk Kak Senja saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara di Ujung Senja
Chick-LitLara. Itulah namaku. Nama itu adalah pemberian dari Bunda. Wanita yang sangat membenciku dan berharap aku tak pernah lahir di dunia ini. Lara. Nama yang menurutku sangat indah karena itu diberikan oleh Bunda. Meskipun, Bunda memberiku nama seperti i...