Chapter 2 : Hukuman

362 34 5
                                    

Setelah melaksanakan salat maghrib dan mengenakan kerudung, aku bergegas turun untuk makan malam. Sejak dua tahun lalu, tepatnya aku masih kelas tiga SD, Bi Sri sudah mengajariku untuk memakai kerudung, baik di dalam maupun luar rumah. Meskipun, sangat risi, tetapi pada akhirnya aku mulai terbiasa.

Huh! Aku harus mempercepat langkahku. Aku tak ingin jika Bunda marah-marah lagi. Bunda paling tidak suka jika ada orang yang tidak displin waktu. Akan tetapi, itu hanya berlaku bagi diriku.

Bunda tak pernah marah jika Kak Senja yang tidak displin waktu. Bunda tidak pernah marah jika Kak Senja bangun siang. Huh ... bunda memang sangat sayang kepada Kak Senja. Aku semakin iri dengannya. Kugelengkan kepalaku kuat-kuat. Tidak. Aku tidak boleh menyimpan rasa iri atau dengki di dalam hati. Kata Bi Sri, orang yang mempunyai rasa iri tidak akan pernah bahagia hidupnya.

"Lara, ayo makan bersama kami!"

Saat sampai di ruang makan, seseorang memanggilku. Aku menoleh. Itu Kak Senja. Dia yang memanggilku tadi. Apa yang baru saja ia katakan? Dia mengajakku makan bersama, semeja dengan bunda? Apa aku tidak salah dengar?

Kaki ini perlahan berjalan mendekati meja makan. Kulirik bunda yang tampaknya tak suka dengan kehadiranku. Aku menunduk dalam, takut menatap sorot matanya yang begitu tajam. "Apa ... aku boleh makan di sini?" tanyaku ragu.

Bunda meletakkan sendok di atas meja dengan keras, membuatku dan Kak Senja langsung menoleh ke arahnya. "Kata siapa kamu boleh makan di sini?" sanggah Bunda cepat. Tatapannya masih sama seperti biasa. Tajam dan menakutkan.

Tubuhku semakin gemetaran melihat wajah bunda yang terlihat cantik berubah sangat menyeramkan. Lebih menyeramkan daripada hantu-hantu yang pernah kulihat di televise.

"Bersikaplah seperti biasa, Lara. Tempat kamu bukan di sini. Bukankah, biasanya kamu makan di dapur dengan Bi Sri?"

Nyaliku ciut seketika. Aku kembali menunduk, tak berani menatap wajah Bunda. Tanganku yang basah karena keringat dingin saling meremas. "Maaf, Bunda. Lara merasa senang kalau bisa makan semeja dengan Bunda dan Kak Senja," ujarku lirih.

"Tidak usah berharap lebih. Kamu harus tahu tempat kamu, Lara! Masih mending, kamu masih saya kasih makan. Pergi ke dapur!"

Aku menganggukkan kepala, patuh. Lalu, berjalan menuju dapur di mana Bi Sri sudah menungguku untuk makan malam bersama.

"Makan yang banyak, ya, Sayang."

Samar-samar, aku masih mendengar suara bunda yang begitu lembut. Namun, itu hanya ditujukan kepada Kak Senja. Entah kenapa, hatiku sangat sakit sekali. Perih, seperti luka yang terkena perasan jeruk. Maafkan Lara yang selalu iri kepada Kak Senja, Ya Allah.

-o0o-

Setelah membantu Bi Sri membereskan meja makan dan mencuci piring, aku kembali ke kamar karena teringat masih ada PR dari bu guru yang belum kukerjakan. Kali ini, bu guru memberikan PR menggambar pemandangan yang indah. Aku harus menggambar sebagus mungkin agar mendapat nilai yang bagus dan hadiah dari bu guru.

Aku mengambil buku gambar bersampul Hello Kitty dari tas merah muda kesayanganku. Aku merasa senang karena gambaranku hampir saja selesai, hanya tinggal mewarnai saja. Namun, aku baru ingat kalau tidak punya pensil warna untuk mewarnai.

"Aku harus meminjam pensil warna dulu ke Kak Senja."

Aku memang selalu meminjam pensil warna dari Kak Senja jika ada tugas menggambar dan Kak Senja akan dengan senang hati berbagi pensil warna denganku karena bunda selalu membelikan Kak Senja pensil warna dengan kualitas terbaik. Jika pensil warna itu habis, Bunda pasti akan membelikannya lagi. Berbeda kalau aku yang meminta, pasti tidak akan pernah dibelikan. Makanya, aku selalu meminjam pada Kak Senja.

Aku masuk ke dalam kamar Kak Senja yang berada tepat di depan kamarku. Kulihat Kak Senja sedang mengerjakan PR dengan tidur telengkup di atas kasur.

"Kak Senja, Lara boleh pinjam pensil warna sebentar?" Aku duduk di sampingnya, melihat apa yang dikerjakan oleh Kak Senja. Ternyata, dia juga mendapat PR yang sama denganku, menggambar, tapi gambaran Kak Senja lebih susah dariku. Maklumlah, Kak Senja sudah SMP, sedangkan aku masih SD. Jadi, pelajaran Kak Senja pasti lebih sulit.

Kak Senja mengubah posisinya menjadi duduk. "Enggak boleh! Aku masih memakainya. Tugas ini harus dikumpulkan besok," ujarnya sedikit kesal.

Bibirku mengerucut, kecewa. Akhirnya, satu ide terpikirkan olehku. "Bagaimana kalau Lara nggambarnya di sini aja, boleh?"

"Kalau itu, sih, boleh. Sini." Kak Senja menepuk kasur, menyuruhku duduk di sampingnya.

Dengan senyum yang mengembang di bibir, aku pun naik ke atas ranjang Kak Senja.

Baru saja pantatku duduk, pintu kamar Kak Senja dibuka dengan kasar, memperlihatkan bunda yang tengah menatapku berang.

Bunda berjalan tergesa-gesa ke arah ranjang, kemudian menarik tanganku dengan kuat. Sakit sekali, bahkan cubitan yang selalu dihadiahi Bunda setiap hari tak ada apa-apanya dibandingkan cengkeraman Bunda saat ini.

"Sakit, Bunda," ringisku sembari memasang muka memelas, berharap Bunda akan iba. Akan tetapi, Bunda tetap menarik pergelangan tanganku, membawaku keluar dari kamar Kak Senja. Entah, ke mana lagi Bunda akan membawaku. Apa jangan-jangan Bunda akan menghukumku lagi dan mengurungku di dalam kamar mandi?

Tidak! Tidak mungkin, 'kan? Memangnya, apa salahku sampai harus dihukum?

"Bunda, Lara mau dibawa ke mana?" tanyaku, berusaha menahan rasa sakit karena cengkeraman Bunda semakin menguat.

"Masuk kamu! Jangan pernah ganggu Senja belajar!"

Bunda mendorongku masuk ke dalam kamar mandi, lalu menguncinya dari luar. Aku menggedor-gedor pintu agar Bunda mau membukanya. Kekhawatiranku benar-benar terjadi. Bunda mengurungku di dalam kamar mandi, lagi.

"Bunda, buka pintunya. Lara takut di sini sendirian, Bunda. Bunda, maafkan Lara. Lara janji enggak akan gangguin Kak Senja lagi. Buka pintunya, Bunda, di sini dingin. Bi Sri, tolongin Lara!"

Tak ada sahutan dari luar. Tanganku sampai sakit dan memerah karena menggedor-gedor pintu terus-menerus.

Aku duduk di balik pintu, memeluk tubuh ini yang terasa dingin sembari menangis sekeras-kerasnya agar hati Bunda luluh dan kasihan.

Namun, sampai beberapa jam berlalu, entah sudah berapa jam, Bunda tak kunjung membukakan pintu. Padahal, tubuhku sudah menggigil, tak kuat menahan dinginnya lantai kamar mandi. Air mataku pun sudah kering karena menangis terus. Aku sudah tak kuat lagi.

Kuedarkan pandangan, menatap seluruh sudut kamar mandi dengan waswas. Aku takut kalau-kalau ada kecoa. Aku sangat membenci hewan itu. Kupeluk erat tubuh ini dan menenggelamkan kepala di antara tangan yang terlipat di atas lutut. Aku takut, Bunda.

Mataku pun terasa berat, tak kuasa menahan kantuk.

"Bunda, kenapa Bunda tidak membukakan pintu? Aku kedinginan, Bun. Aku butuh pelukan Bunda. Maafkan Lara yang nakal. Maafkan Lara yang selalu nyusahin Bunda. Maafkan Lara, Bun," ujarku lirih. Air mata kembali turun, membasahi pipi ini.

Aku terus mengusap-usap lengan untuk menghantarkan kehangatan. Meskipun pakai kaus lengan panjang, tapi aku masih merasa kedinginan.

Kuletakkan tangan di dahi. Panas. Sepertinya, aku sudah demam, tapi kenapa Bunda lama sekali? Kenapa pintu ini belum juga dibuka? Bunda, aku sakit.

Perlahan-lahan, pandanganku mulai buram dan akhirnya gelap. Aku tidak bisa mengingat lagi apa yang terjadi setelah itu.

"Bunda ...."

***

Cerita lama yang kulanjutkan lagi. Semoga kalian suka, ya🤗

Salam Sayang,

Myka Fadia

Lara di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang