Hayo, siapa yang nunggu cerita ini?☝🏻
Hehehe, maaf, ya, updatenya ngaret karena lagi sibuk di real life. Makasih yang udah nunggu cerita ini sampai sekarang. Sayang deh😍😘
Jangan lupa tinggalkan jejak biar aku makin semangat update.🤗
"Bi Sri! Bibi ada di luar, 'kan?" Suara bunda menggelegar ke seluruh kamar. Matanya menatao tajam ke arah pintu kamar yang tertutup rapat.
Tak berapa lama, pintu itu terbuka, memperlihatkan Bi Sri dengan raut wajah yang begitu khawatirnya. Apa Bi Sri mengkhawatirkanku?
Matanya yang terlihat sendu sempat menatapku sebentar sebelum akhirnya menatap bunda. "Iya, Nya. Ada apa?"
"Bawa anak sialan ini ke kamarnya!" perintah bunda sambil membelakangiku.
"Ba-baik, Nya."
***
"Akh. Sakit, Bi," Aku meringis kesakitan ketika Bi Sri mengoleskan kapas yang sudah diberi obat merah ke telapak tanganku yang sedikit berdarah karena pukulan bunda tadi. Benar-benar perih sekali. Saking perihnya, mataku langsung berkaca-kaca.
Bi Sri langsung meniup telapak tanganku yang terluka. Rasanya hangat sekali. Bi Sri selalu memperlakukanku dengan baik. Tidak seperti bunda yang selalu memukulku, bahkan hampir setiap hari. Kalau boleh memilih, aku ingin punya ibu seperti Bi Sri dibandingkan bunda. Tidak apa-apa kalau aku tidak sekolah dan hanya membantu Bi Sri bekerja daripada harus menerima pukulan bunda setiap hari.
"Maafin bibi, ya, Non. Bibi enggak bisa bantu Non Lara tadi. Maafin bibi, ya." Mata Bi Sri berkaca-kaca. Seakan-akan kemudian, sebulir cairan bening keluar dari mata Bi Sri. Namun, Bi Sri langsung mendongak, seakan-akan berusaha mencegahnya.
Melihat itu, aku langsung menangis. Air mata yang sejak tadi kutahan, sekarang tumpah ruah. "Bibi enggak salah. Kenapa Bibi yang minta maaf? Seharusnya, bunda yang minta maaf, Bi. Tapi, bunda enggak pernah lakuin itu. Kenapa bunda selalu menghukum Lara, Bi? Apa salah Lara? Apa Lara harus pergi dari rumah ini biar enggak dihukum lagi sama bunda?"
"Non Lara enggak boleh ngomong gitu." Air mata Bi Sri semakin deras mengalir, membuat hatiku semakin sakit.
"Lara pengin pergi aja dari rumah dan tinggal sama Bibi aja. Lara enggak mau tinggal sama bunda lagi. Lara enggak mau punya bunda kayak Bunda."
"Sssttt. Non Lara enggak boleh bicara kayak gitu. Itu sama aja Non Lara enggak mensyukuri nikmat yang diberikan Allah. Memiliki ibu seperti Nyonya juga termasuk nikmat yang harus disyukuri Non Lara. Kalau misalnya bibi jadi ibu Non, Non akan hidup susah dan enggak akan bisa sekolah seperti saat ini. Bukannya Non suka sekolah? Bibi ini orang susah, Non. Enggak punya apa-apa dan enggak akan bisa menyekolahkan Non."
Aku menggeleng pelan. "Enggak pa-pa kalau Lara enggak sekolah, Bi. Yang penting, Lara enggak dihukum setiap hari. Sakittt, Bi. Lara enggak kuat lagi," ucapku sambil meremas dada, berusaha mengurangi rasa sakit yang semakin menjadi-jadi hingga membuatku sesak.
Bi Sri mengulurkan tangan besarnya, menghapus air mata yang membasahi pipiku. "Non Lara harus sabar, ya. Bibi yakin, di balik sikap Nyonya, beliau pasti sangat menyayangi Non."
"Kalau sayang sama Lara, kenapa Bunda selalu menghukum Lara, Bi? Tapi, Bunda tidak pernah sekali pun menghukum Kak Senja, meskipun Kak Senja buat salah. Apa Bunda enggak sayang lagi sama Lara?" tanyaku dengan isakan yang masih belum reda sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara di Ujung Senja
ChickLitLara. Itulah namaku. Nama itu adalah pemberian dari Bunda. Wanita yang sangat membenciku dan berharap aku tak pernah lahir di dunia ini. Lara. Nama yang menurutku sangat indah karena itu diberikan oleh Bunda. Meskipun, Bunda memberiku nama seperti i...