PART 6

46 5 0
                                    


Kakiku melangkah keluar, semakin jauh meninggalkan Zein yang terbaring sendirian di sofa rumahnya. Ini keputusan yang sangat bertentangan dengan hati kecilku tapi apalah dayaku saat janji sudah terucap dan kesepakatan sudah dibuat. Hanya bisa menjalani walau mungkin banyak hal yang merasa dirugikan atas kepergianku. Tadi saat matahari belum benar-benar menyembunyikan sinarnya aku sempat pulang untuk mandi dang anti baju. Aku biarkan Zein sendirian di rumah karena aku harus pulang setelah mengantarnya. Saat tubuhku sudah dibalut dengan pakaian yang sekiranya cocok untuk makan malam walau terlihat simple dan kupoles pipiku dengan bedak yang sangat tipis dan menambahkan goresan lipstick di bibirku semakin membuat aura kecantiku terlihat jelas kuturuni satu per satu anak tangga. Melangkah keluar dan masuk ke dalam mobil lalu melaju jauh meninggalkan kompleks yang setiap harinya terlihat sepi karena setiap orang sudah disibukkan dengan urusannya masing-masing.

Aku turun tepat di restoran yang letaknya tidak begitu jauh dari kampusku. Terlihat bangunan yang kalau dibilang tidak terlalu besar tapi elegan. Ukiran di setiap sudut ruangannya pun berhasil memanjakan mataku. Ditamabah dengan cahaya yang berkilauan di setiap pohon hias di dalam restoran tersebut. Restoran ini terbilang ramai karena banyak pengunjung yang keluar masuk bersama pasangan atau rekan kerjanya. Aku telusuri di setiap meja dari setiap sudut dan seluruh ruangan ini tapi aku belum juga melihat Fikri berada di antara puluhan orang yang tengah menikmati secangkir kopi panas dan beberapa makanan yang mereka pesan sambil berbincang ringan.

Aku memutuskan untuk duduk terlebih dahulu sambil menikmati coklat panas yang baru saja pramusaji berikan di atas mejaku. Aroma coklat di restoran ini memang sungguh menggoda tapi kurasa coklat ini rasanya kurang sempurna saat cowok istimewa tidak menyeruput coklat panas yang nikmat ini di sampingku. Samar-samar kulihat cowok dengan celana selutut dan kaos berwarna hitam ditambah topi yang sengaja dibalik sedang celingukan mencari seseorang. Dan setelah aku paham betul kalau aku kenal cowok yang satu ini akhirnya aku memanggilnya.

"Maaf terlambat soalnya tadi sempat dari rumah temen," katanya sambil duduk di depanku dan membiarkan topi yang tadinya melekat di kepalanya kini dia masukkan ke dalam tas berukuran kecil yang sempat dia bawa.

"Okay enggak masalah kok. Lo mau pesen apa?" tanyaku sambil menyodorkan menu makanan yang tertera di daftar menu.

"Aku samain aja lah sama kamu," pintanya.

Seorang pramusaji membawa pesanan kita berdua tepat waktu dan menurutku itu tidak terlalu lama untuk menunggu makanan yang kita pesan lengkap berada di atas meja. Coklat yang tadinya panas dan menenagkan tidak senikmat tadi, suhunya kini semakin turun dan menjadi hangat. Meski begitu aku tetap saja menghabiskannya walau makanan belum kulahap semuanya.

"Habis ini kita pergi ke pasar malem yuk, disana ramai loh," pintanya sambil menyeruput coklat panas setelah piringnya kosong tak bersisa.

"Maaf gue enggak bisa soalnya gue udah janji mau menjenguk temen gue yang sakit," tolakku dengan ekspresi seakan-akan meminta maaf.

"Terus kapan kita bisa jalan bareng lagi?" tanyanya penuh harap.

"Kalau masalah jalan bareng gue enggak bisa janji soalnya aku sangat sibuk," jawabku sambil melahap suapan terakhirku.

Fikri hanya mengangguk seakan mengerti dengan keadaanku saat ini sebagai mahasiswa baru. Setelah keluar dari restoran tadi kita berdua sempat duduk di taman kecil yang letaknya tidak jauh dari restoran tersebut. Mobil pun masih kami biarkan terpakir di depan restoran sedangkan aku dan Fikri duduk di tengah taman yang dihiasi dengan bunga yang bermekaran dan kilauan cahaya warna-warni yang menambah keindahan taman tersebut. Awalnya kita berdua saling bertukar cerita tentang status kita misalnya aku tinggal sendiri dengan papah walaupun sebenarnya papah jarang pulang. Kita berdua hanya saling berbincang ringan dan aku juga tidak sebegitu mudahnya untuk cerita tentang masalahku dengannya. Tidak semudah saat aku bertukar cerita dengan Zein dulu. Aku hanya jujur padanya kalau hidupnya sangat beruntung karena dia masih bisa tingga bertiga dengan kedua orang tua dan satu adik perempuannya yang semumuran denganku dan ternyata juga satu kampus. Betapa bahagianya menjadi Fikri yang setiap hari kedua orang tuanya sangat perhatian walaupun kedua orang tuanya juga disibukkan dengan bisnis mereka.

Everything Is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang