Sepulang sekolah aku langsung menceritakannya semua kepada Aden. Aden tertawa keras saat dia tahu kalau faktanya cuma gara-gara alat penyemprot pupuk. Sampai-sampai bi Ami datang ke kamarku karena Aden tertawa keras.
Sekarang kami sedang perjalanan menuju ke Skatepark, kami sudah ambil skate yang tertinggal di mobil Ayah. Awalnya kita tidak berfikir untuk ke skatepark hari ini, tapi waktu kami menelfon ayah buat memberi tahu kalau skateboard kami tertinggal di dalam mobil ayah, ayah langsung menyuruh kami untuk mengambilnya. Jadi kami memakai motor ayah untuk keluar. Aku suka sama ayah, dia selalu mengertiku.
"Den, kok gue ngerasa kayak lagi sama pacar ya" aku berbicara sambil menyandarkan daguku di bahu Aden. Tanganku melingkar di perut Aden. Aku melihatnya dari kaca motor "Coba aja manggilnya aku kamu, suka bareng kemana-mana, postingan instagaram berdua terus. Ah jadi pengen punya pacar, enak kali ya" aku tersenyum sambil membayangkan aku bisa berdua bersama pacar, pasti lucu.
"Din, jangan ngarang deh ya. Geli, Din"
"Aden mah ga pernah pacaran, lucu tauk"
"Emang Dinda pernah?"
"Pernah"
"Sama siapa?"
"Ih Aden masak lupa sih, itu Dimi. Model yang fotonya ada di dinding jalan arah "
"Tapi udah putuskan, gue juga ga pernah denger lo jalan sama dia"
"Isss"
Aku tidak ingin kalian tahu percakapanku dengan Aden lama lama, termasuk waktu di skatepark, aku hanya ingin bercerita bahwa waktu itu, aku merasa bahagia. Aku tidak sengaja bertemu dengan laki laki cakep untuk pertama kalinya di skatepark. Aku bahagia, walau hanya melihatnya dari jauh. Aden kenal dia, tapi aku belum sempat menanyakan hal itu pada Aden. Tapi sudahlah, sekarang aku sedang perjalanan menuju sekolah. Aku menaiki motor bersama Aden. Jangan berfikir kalau kami menaiki motor besar seperti di televisi, itu salah besar. Kami menaiki motor metik biasa, Aden tidak suka seperti itu. Dulu, waktu ditanya kenapa, dia jawabnya ga pingin jadi salah gaul kayak anak motor, maunya jadi anak papa sama mama aja, gitu jawabnya.
Dia itu memang aneh, ga banyak bicara. Kayak anak keren di cerita novel seperti itu, yang dingin dan banyak penggemarnya. Namun Aden beda, dia tidak dingin hanya saja dia kurang bicara, dia tidak pendiam seperti yang kalian kira. Dia itu seperti berkata untuk tahu, diam untuk hal yang tidak perlu. Mungkin kalian akan merasakan sendiri jika kalian dekat dengan Aden.
Sekarang, aku sudah berpamitan kepada Aden kalau aku jalan duluan. Aku mau duduk di bangku dan tidur sebentar. Percayalah, kemarin sore itu sangat melelahkan. Aku memasuki kelas dan melihat kalau bangku ku sudah terisi dengan pemiliknya, dia sedang duduk bermain handpone bersama Dio yang mengahadap belakang. Aku segera duduk di bangkuku.
"Pagi" sapaku pada mereka sambil tersenyum.
Aku melihat Dio yang menjawab dan kembali berkutik pada ponselnya.
"Lo ngapain duduk di sini?" Ini sepertinya Dharma yang berkata. Dia menatap tas yang aku taruh kursiku. Kemudian dia menatapku. "Mau ikut gabung?"Aku melihatnya, dia sempurna. Aku melihat wajahnya tampan, dan sepertinya dia itu spesies lelaki yang sempurna.
"Woi, malah bengong sih lo"
"Santai kali Dhar, dia anak baru di kelas kita"
"Terus?"
"Bangku yang kosong cuma di sebelah lo Dhar, ya otomatis dia duduk di sebelah lo lah"
Dharma diam, kemudian dia menatapku. "Yaudah duduk, gue kan cuma tanya"
Dan sekarang aku yang diam. Merasa seperti orang yang ga berguna gitu. Aku melihat bangku Arum yang masih kosong. Dan sekarang Dio malah pamit pergi ke luar. Hanya tertinggal aku dan Dharma. Aku melihat ponsel yang dimainkan Dharma. Tidak, dia hanya bermain game saja. Kemudian aku membuka ponselku, aku menspam chat Aden. Aku bisa mati bisu kalau seperti ini. Diam dan hanya diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinda
Teen FictionAku adalah Dinda. Kata Aden, sekarang aku berbeda. Semua itu karena rasa. Perlu kalian tahu, Aden itu kakakku, dia beda usia 2 bulan denganku. Aku paham semuanya, semua berawal dari Dharma yang memberiku bolpoin. Saat mata kami saling beradu sesaat...