Hari ini aku berangkat sekolah bersama Aden. Kami diantar ayah. Ibu tidak bisa ikut karena dia ada kerjaan penting di butiknya, jadi ibu langsung berangkat ke butik. Ayah udah boleh pulang karena kemarin dokter mengijinkan, tetapi ayah harus tetap jaga kesehatan.
"Hati-hati yah"
Aku berjalan beriringan dengan Aden. Aden berhenti Dia diam dan melihat ring basket yang berada tak jauh dari tempat kami berdiri.
"Din, lo ngrasa ada yang aneh atau apa gitu ga sih?"
"Apaan sih Den, yang ada Aden yang aneh, berhenti tiba-tiba"
"Inget Din, papan skatenya ketinggalan di mobil"
"Ayah?"
Aku langsung balik arah dan kembali ke pintu gerbang utama. Tapi sayang, ayah udah tidak ada.
"Ih, padahal tadi udah minta ijin buat ke park skate, jadi gagal deh" ucapku.
"Udah, besok aja. Bentar lagikan weeknd"
Aku berjalan meninggalkan Aden sendiri. Aku merasa malas jika seperti ini, padahal kemarin malam aku sudah berkhayal tentang indahnya kembali dengan skate dan panas marahari. Dan semua khayalan itu musnah karena diriku sendiri.
Aku masuk kelas dan langsung duduk di bangkuku. Hari ini Dharma masih ijin, aku tidak tahu dia sakit apa. Dan aku juga belum tahu dia itu seperti apa. Tapi, kata Dio Dharma orangnya cakep dan rumornya dia udah ada pacar, tapi kalau anak anak nanya katanya sih belum. Tapi sudahlah, aku tidak tahu dia. Tidak bagus juga membicarakan orang lain.
15 menit sebelum bel masuk, sekolah kami akan selalu ada tadarus pagi untuk murid yang beragama islam. Di kelasku alhamdulillah islam semuanya. Setelah tadarus selesai langsung dimulai pelajaran pertama. Ternyata guru di SMAku sangat disiplin, bahkan mereka datang 5 menit sebelum bel pelajaran pertama. Dan berarti ada tuntutan murid datang lebih awal untuk masuk kelas.
Jam pertama untuk mata pelajaran kelasku ada sosiologi peminatan. Setiap kelas ada 2 mata peminatan, kelasku ada bagian ekonomi dan sosiologi untuk peminatan ips. Aku tidak tahu bagaimana asal mula mata peminatan itu ditetapkan. Guru sudah memulai pelajaran. Dan percayalah, aku tidak tahu apa yang diajarkan Ibu Lastri. Di sekolahku yang lama bukan seperti ini cara mengajarkannya. Bahkan dulu juga tidak ada mata sosiologi. Waktu hari pertama masuk kemarin dengan hari ini juga berbeda. Kemarin lebih ke grup daripada diam mendengarkan. Bahkan kemarin juga guru tidak banyak bicara seperti saat ini.
Aku merasa ngantuk. Jika boleh aku berkata, aku lebih suka sekolahku yang dulu. Tapi aku lebih suka tinggal di Indonesia. Hanya saja, aku merasa nyaman sekolah di sana. 1 jam berlalu dengan percuma di sekolah. Ternyata bukan hanya aku, Dio sudah nyenyak dalam tidurnya. Arum juga memainkan ponselnya yang ia sembunyikan di laci mejanya. Aku tersenyum lucu. Bagaimana bisa bu Lastri tidak melihat Dio yang dari tadi tidur dan Arum yang merunduk karena ponselnya.
Diam diam aku membuka kontak Aden. Aku mengirimkan pesan singkat untuknya. Aku tidak tahu dia sedang membuka ponsel atau tidak. Yang pasti aku hanya ingin mengirimkan pesan untuknya.
"Din, anterin ke toilet yuk" ucap Arum sambil menengok kebelakang.
"Apa?"
"Toilet, Din" ucapnya sedikit keras.
Tanganku langsung digenggam oleh Arum. Arum mengangkat tangannya dan tunjuk jari. "Bu, Arum sama Dinda ijin ke luar, ke Toilet" bu Lastri langsung meiyakan ijin Arum. Arum langsung menarik tanganku untuk keluar kelas. Aku melihat dia yang tengah berlari. Sungguh, dia sangat lucu. Arum masuk ke toilet, aku hanya berdiri di depan kaca toilet. Aku melihat ada yang keluar dari bilik ke dua. Aku melihat perempuan itu. Dia adalah satu dari tujuh orang yang menyiramku pupuk basah kemarin. Aku menatapnya lama. Dia hanya diam dan ikut membenarkan tataan rambutnya di kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinda
Teen FictionAku adalah Dinda. Kata Aden, sekarang aku berbeda. Semua itu karena rasa. Perlu kalian tahu, Aden itu kakakku, dia beda usia 2 bulan denganku. Aku paham semuanya, semua berawal dari Dharma yang memberiku bolpoin. Saat mata kami saling beradu sesaat...