Ayah sudah diperbolehkan pulang, ternyata ayah kecelakaan mobil bersama sekertarisnya yang baru. Aku sempat tertawa saat ayah menceritakan itu padaku dan Aden. Ibu cemburu dengan sekertaris ayah di kantor. Kami banyak bercanda saat itu di ruang tamu, bersama ibu yang malu karena cerita ayah barusan. Percakapan kami berhenti saat ponsel ayah berbunyi.
"Hallo?"
"Iya jelas, aku juga kangen banget sama kamu"
"Wah, itu juga berita bagus, besok biar Dinda yang jemput"
"Ya ya, siap"
Aku tidak sengaja mendengar percakapan ayah, bahkan aku yakin kalau ibu dan Aden juga mendengarnya. Ayah kembali duduk di sofa.
"Makan malamnya sudah siap bu, mari"
Itu bi Ica yang bilang. Bibi sudah lama ikut kami. Bahkan bibi yang menjaga rumah ini saat kami tinggal di Prancis. Ayah mengajak kami langsung makan, katanya sudah laper abis. Ayah memang begitu.
"Besok pagi Dinda jemput om Reza di bandara, ya"
"Tapi yah, Dinda kan ada sekolah"
"Ga papa besok biar Aden buatin surat ijin buat kamu" -Ibu.
"Biar Kak Aden aja yang jemput om Reza, kalau Dinda yang jemput pasti nanti Dinda canggung banget"
"Gabisa, besok ada tugas dari guru. Biar Dinda aja yah yang jemput" itu Aden yang bilang, Aden emang nyebelin kalau lagi kayak gini. Sibuk terus, padahal masuk sekolah juga baru kemarin, yakalik langsung dapet tugas banyak. Boong pasti.
"Udah ga papa, om Reza itu orangnya pendiem. Dia juga sama anaknya kok, namanya Nata kalau ga salah"
"Iya deh yah"
"Nanti Dinda yang baik sama om Reza dan Nata ya, yang ramah jangan cemberut"
"Iya ibu"
Aku langsung tiduran di kasur kamarku, aku jadi malas tidur kalau besok tidak sekolah. Padahal besok aku ingin lebih dekat dengan Dharma. Dharma itu kan cakep, manis lagi kalau lagi senyum. Apalagi waktu di kantin kemarin aku liat dia senyum sambil makan batagor. Sumpah demi apapun, dia itu cakep super. Kayaknya dia orang tercakep yang pernah aku temuin setelah ayah sama Aden deh. Gila, aku bisa gila kalau mikirin dia.
Setelah aku mengingat Dharma tadi malam. Aku langsung di bangunin bi Ica, karena hari ini aku disuruh ayah dan ibu buat jemput om Reza dan Nata di bandara. Aku langsung mandi dan segera mengenakan pakaian santai. Aku juga mengikat rambutku. Aku bahkan tidak yakin kalau aku tidak sekolah hanya untuk menjemput teman ayah yang datang dari Perancis.
"Din, pak Agung udah nunggun di mobil"
"Iya"
Itu suara Aden yang di depan pintu. Aden itu sebenarnya baik, tapi dia super sibuk. Suka sih, tapi kadang males karena ga ada waktu.
Aku langsung keluar menuju mobil. Aku duduk di depan. Aku lebih suka dudul di samping kemudi daripada di belakang. Tidak tahu apa alasannya. "Jalan pak!"
Sesampainya di bandara aku langsung mengambil kertas dan spidol yang aku taruh di tas. Aku menyiapkannya waktu sebelum sarapan tadi. Aku menulis nama om reza dan Nata. Pak Agung berdiri di deretan orang yang memegang nama juga. Lama, ini udah satu jam kami menunggu Om Reza.
"Gimana non, ini udah sepi. Coba telfon bapak dulu"
"Yaudah Dinda telfon dulu ya pak"
Aku menelfon ayah. Ayah bilang suruh nunggu dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinda
Teen FictionAku adalah Dinda. Kata Aden, sekarang aku berbeda. Semua itu karena rasa. Perlu kalian tahu, Aden itu kakakku, dia beda usia 2 bulan denganku. Aku paham semuanya, semua berawal dari Dharma yang memberiku bolpoin. Saat mata kami saling beradu sesaat...