Chapter 29

2.1K 113 0
                                    

Kuhela nafasku untuk yang kesekian kalinya. Tatapanku kembali beralih pada koper biru yang beberapa waktu belakangan ini sering kugunakan. Perlahan, gambaran-gambaran tentang masa laluku terputar bagaikan film dibenakku, gambaran tentang kehidupanku beberapa tahun yang lalu, bagaimana kehidupanku yang tenang berubah menjadi kacau dalam sekejap. Beban berat kembali menimpaku, berapa banyak nyawa yang melayang karenaku? Kalian tahu? Pertama kalinya aku membunuh seseorang adalah saat-saat yang begitu mengerikan untukku. Aku selalu merasa ketakutan setelah saat itu, apa yang akan terjadi padaku selanjutnya? Bagaimana jika nanti polisi menangkapku? Apa mereka akan membunuhku juga? Sekiranya seperti itulah pertanyaan yang terus menghantuiku sejak saat itu. Jika saja Bill tak menemaniku saat itu, aku yakin aku pasti sudah gila.

Lagi-lagi, helaan keluar begitu saja dari bibirku. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan di pintu kamarku. Barusaja aku hendak bangkit dari ranjangku, pintu itu sudah terbuka dengan sendirinya. Itu cukup membuatku terkejut sekaligus kesal, apalagi setelah mengetahui siapa yang muncul dibalik pintu itu.

"Apa gunanya mengetuk pintu jika kau langsung masuk begitu, huh? Dasar brengsek," umpatku, kesal. Pria itu, Nathan, hanya menyeringai menanggapiku, menandakan bahwa dia memang sengaja melakukan hal itu.

Nathan berjalan kearah koperku. "Kau seharusnya mengunci kamarmu, sayang. Jadi jangan salahkan aku jika suatu saat nanti aku melihatmu sedang mengganti baju."

Sontak aku melempar bantal yang berada didekatku pada Nathan. Dengan mulusnya, bantal itu berhasil mendarat di wajah menyebalkan Nathan. "Jaga bicaramu, brengsek! Kau tak akan tahu kapan kau akan kehilangan kemampuan berbicaramu!" Aku segera berjalan keluar kamar dengan jengkel, meninggalkan Nathan yang masih setia dengan seringaiannya.

"Gadis yang menggoda."

Kakiku sudah menapak di halaman rumah Vlad. Disana, aku bisa melihat pria itu, pria yang mendominasi hidupku. Jaket hitam yang ia pakai berkibar ketika sebuah helikopter turun dihadapannya, bahkan angin yang ditimbulkan oleh baling-baling helikopter itu masih bisa mencapaiku, mengajak helai-helai rambutku yang tergerai untuk menari bersamanya. Aku kembali terpesona ketika mata elang Vlad menatapku. Dingin dan tajam, gelap dan mempesona. Sayangnya setelah hari ini, aku akan jarang melihatnya. Mungkin tak akan.

Seakan terdapat magnet, aku langsung menghamburkan diriku pada Vlad yang menerimaku dengan tangan terbuka. Kueratkan dekapanku, merapatkan tubuhku pada Vlad untuk mendapatkan kehangatan sebanyak mungkin. Aku benar-benar tak bisa menyangkal bahwa aku akan merindukannya nanti, Vlad benar-benar sudah mengambil separuh hidupku. Bisa kurasakan dekapan Vlad yang semakin erat, seolah tak ingin membiarkanku pergi. Sungguh, Vlad, jauh didalam lubuk hatiku aku juga tak menginginkan hal ini.

Vlad semakin menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku, membuatku sedikit melenguh ketika ia mencoba menghirup aroma tubuhku. Sesaat kemudian, Vlad melepas pelukannya. Tanpa memberi jeda, ia langsung menempelkan bibirnya di bibirku, menguncinya dengan segala permainan panasnya. Aku tak menolaknya, aku malah mencoba untuk membalas segala permainannya, mulai dari lumatan, gigitan kecil hingga permainan lidah. Entahlah, aku hanya ingin menyampaikan apa yang sedang kurasakan saat ini. Ugh, mengapa setiap kali seseorang menemukan kebahagiaannya, selalu ada yang menghalanginya?

Sesak yang tiba-tiba menghampiriku membuatku dengan terpaksa harus meminta Vlad untuk menghentikan ciuman kami, memberikanku ruang untuk bernafas. Beruntung Vlad mengerti isyaratku yang memukul dada bidangnya pelan. Ia pun beralih menyatukan dahi kami.

"Apa kau memiliki kata-kata untuk ini?"ujar Vlad dengan nafas yang masih tak teratur. Seringainya yang terlihat jelas itu seolah mengejek apa yang kukatakan semalam, saat aku secara tak sengaja mengatakan bahwa aku membuka pintu hatiku untuknya.

The Dark PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang