Penyakit Dakwah.
"Belagu. Aku ini belum baik. Perbaiki diri saja dulu. Bagaimana aku menasehati orang lain, sedangkan aku saja butuh nasehat?"
Kalau ada perasaan begitu, itu setan. Ta'awudz, lalu jawab,
"Aku ini belum baik, dan ingin jadi baik, sambil ngajak orang jadi baik. Karena jika harus menunggu aku menjadi orang baik, itu artinya aku sendirilah yang menilai diriku. Bukankah iblis seperti itu, menilai dirinya dengan standart dia?"
. . .
"Sekarang dia berjilbab. Rajin ke majelis ilmu. Alhamdulillah, untung aku tak lelah menasehatinya waktu itu."
Kalau ada perasaan begitu, itu dari setan. Ta'awudz, lalu bantah,
"Bukan karena aku, tapi karena Allah. Dia bisa begitu bisa lewat nasehat siapa saja, tidak harus aku. Aku menasehatinya, melawan lelah, itu semata karena perintah. Tentang dia berpaling atau menerima, ketetapan ada pada Allah."
. . .
"Ya Allah, tunjukillah aku dan orang-orang itu jalan yang lurus. Agar kami terbebas dari jerat dosa."
Kalau ada terlontar do'a begitu, padahal ikhtiar nyata bisa dilakukan sebelumnya, maka itu juga dari setan. Ta'awudz, lalu ubah. Nasehati dengan cara terbaik yang kita bisa, lalu do'akan dengan do'a terbaik pula. Karena jika 'hanya mendo'akan', itu hanya berlaku ketika kita tidak bisa berbuat apa-apa.
. . .
Ada sesuatu yang sering kita lupa jika semangat dakwah sedang tinggi-tingginya. Padahal inilah penyakit terparah, kronis.
"Lupa bahwa dakwah adalah memberitakan peringatan dan kabar gembira. Lalu memvonis; kalian di neraka, aku di surga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Yuk?
Spiritual"Hati kita masih ada iman, itulah sebab mengapa kita merasa bersalah setelah melakukan dosa" -RikaArtamevia- IG : @artame.i