1. Clara and The Nutcraker

24 1 0
                                    


====

Pagi itu mendung. Shafa membentangkan jaket denimnya sebelum menyelipkan kedua tangannya di dalam sana. Shafa ingat jika hari ini akan cerah. Kata ramalan cuaca subuh tadi, anda bisa melakukan aktifitas apapun tanpa khawatir akan hujan. Dusta. Harusnya peramal itu bilang sedang berawan, biar tak terlihat kalau ramalan itu memang mengada-ada.

Sepatuh hitamnya membela jalanan kecil bebatuan. Tanpa menghiraukan teriakkan ibunya, Shafa memilih berlari sembari berteriak kencang. "Tunggu gue!"

Mobil warna biru itu berhenti tepat di depan seorang gadis berkuncir dua dengan mengenakan pakaian yang sama dengannya.

"Pilih kasih lo, Bang," hardiknya dengan napas ngos-ngosan begitu mencapai pintu mobil.

"Kapan lagi kau olahraga, Shaf," timpal Bang Iko—supir angkot rute sekolah-rumah Shafa.

Tanpa berkomentar ia masuk dan langsung duduk manis di bangku yang masih kosong. Mobil biru sudah melaju cepat membelah jalan raya yang mulai padat.

Shafa sadar jika saat ini gadis berkuncir dua itu sedang mencuri pandang padanya. Sesekali ia berpura-pura memandang ke luar jendela ketika Shafa juga ikut meliriknya. Menilik dari logo sekolahnya, sudah jelas mereka satu sekolah. Tapi tidak ada identitas lain selain logo osis pada saku dan logo sekolah pada lengan kiri. Harusnya ada logo lain pada lengan kanannya. Setidaknya Shafa akan tahu mereka satu angkatan apa bukan.

Setelah lebih dari lima belas menit, angkot Bang Iko berhenti tepat di depan gerbang sekolah Shafa yang mulai ramai. "Belajar yang bener," pesan Bang Iko ketika Shafa menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan.

Memutar bola matanya. Shafa jengah dengan pesan sok perhatian ala Iko Mardianto itu. "Nggak pake kembalian, Bang. Entar jemput aja."

"Jemput, jemput. Emang aku supir kau apa?"

"Abang pan emang supir."

"Tapi bukan supir pribadi kau."

Menggoyangkan tangannya ke udara, Shafa berpamitan. "Nggak pake protes. Masuk dulu ye, Bang."

====

Harusnya Tsania curiga dengan datangnya Indira sambil senyum-senyum pagi tadi. Bukti menyentak di hadapannya. Setelah pelajaran Sejarah yang melemahkan otaknya akan insting membuatnya melupakan perasaan curiga tersebut.

Indira dan cilok bumbu kacang milik Pak Maman bukan buktinya, tapi satu manusia yang datang ke mejanya dengan cilok itulah yang menyentaknya.

"Sama sekalian minum, mau?"

Harusnya Tsania muntah kodok saat ini juga. Melihat Indira yang hanya mengangguk pelan dan malu-malu membuatnya tak terlihat seperti gadis bar-bar yang suka menempelkan bekas upil di bawah meja.

"Kamu mau minum apa?"

Kamu-mau-minum-apa?

Indira keterlaluan! Harusnya kalau memang ingin pacaran bukan di sini tempatnya. Setidaknya Tsania ingin makan dengan damai. Bukan menjadi penonton drama picisan ala Indira dan pacarnya.

"Semaunya kamu deh," jawab Indira malu-malu.

Pemuda berjaket hoodie itu melesat pergi setelah mengelus puncak kepala Indira dengan senyum lebarnya.

Tsania beneran akan muntah kodok.

"Lo utang penjelasan sama gue!" todong Tsania selepas pemuda itu pergi.

Bukannya merasa takut dengan pelototan sahabatnya, Indira lagi-lagi berusaha menahan senyum malu-malunya.

Menjijikkan!

The Georgeous WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang