====
Subuh ini Aufar terbangun dengan perasaan yang luar biasa menyenangkan. Selama 11 tahun ia menjalani rutinitas sekolah, baru hari ini ia menginginkan jam sekolahnya dimulai lebih pagi. Ia bukan tidak menyukai sekolah. Sama halnya seperti anak lain, ia hanya bosan berhadapan dengan buku. Itu saja. Namun ada yang berbeda dengan hari sekolah saat ini, dengan hari sekolah sebelum-sebelumnya. Jika saat SD ia selalu menanti kapan bel pulang berakhir karena ingin segera bermain tamiya, atau saat ia SMP berharap masa itu cepat berakhir dan segera ia belajar di bangku SMA, maka saat ia duduk di SMA sekarang - tepatnya hari ini - ia ingin berlama-lama menjadi siswa sekolah menengah atas. Seperti yang pernah ia katakan, bahwa ia membutuhkan udara untuk bernapas. Dan udara sekolahnya hanya mampu diisi oleh Ashafa Zathira.
"Aufar!"
Fahrani - teman satu kelas Aufar - berlari kecil menyusulnya. "Kita satu kelompok Fisika Quantum. Nih." Aufar menerima satu bendel kertas yang diulurkan oleh gadis berkuncir dua. "Berhubung kelompok Fisika Pak Agung ini samaan sama anak MIA 4. Kita kerja kelompok bareng mereka pulang sekolah entar."
Aufar hanya mengangguk pura-pura peduli. Biasanya ia tidak peduli dengan kerja kelompok atau semacamnya. Ia lebih memilih mengambil tugasnya dan mengerjakan sendiri. Kemudian tinggal ia serahkan pada temannya. Dan mereka takkan protes. Karena sejatinya mereka selalu memberi tugas tersulit untuknya dan berakhir dengan nilai cukup memuaskan.
"Nah, itu Shafa!" pekik Fahrani. Gadis itu membenarkan kacamata minusnya sebelum berlari menghampiri sang gadis yang baru datang melewati gerbang sekolah itu. "Shafa, nanti kita kerja kelompok di rumah Nanda, ya?"
Melihat kebingungan Shafa, Fahrani tersenyum sembari menjelaskan jika Nanda — sang pemilik ide kerjasama — mengundang kedua kelompok itu untuk melakukan penyelesaian terhadap tugasnya. Kebetulan Shafa satu kelompok dengan Nanda.
"Oh, oke."
Aufar tahu bahwa keberuntungan memang selalu mengitari setiap manusia. Hanya saja tergantung bagaimana manusia itu menyadari bahwa ia memang sedang dikelilingi hal itu. Sementara Aufar takkan menyia-nyiakan keberuntungan yang memang sedang singgah pada nasibnya itu.
Selepas Fahrani pergi dan berpamitan pada keduanya, Aufar memilih menghampiri Shafa. "Morning, my felix."
"Nama gue Shafa, ya!" jawab Shafa, ketus.
Aufar tahu jika sang gadis masihlah tidak suka dengan ucapannya kemarin, tapi ia tahu bahwa kediaman Shafa kemarin adalah karena ia masih bimbang dengan permintaan Aufar. Tak masalah selama gadis itu tidak menolak langsung permintaannya. "Felix like lucky charm, Clara. You are my lucky."
Shafa memutar bola mata. "Pagi-pagi jangan bikin horor deh, Far."
"Memangnya gue hantu," balas Aufar.
"Omongan lo yang bikin gue takut." Shafa melanjutkan perjalanannya menuju kelas dan diikuti oleh Aufar. "Gue kira otak lo udah waras."
"So, tell me, Shafa. What should I do?"
Shafa berhenti dan menoleh pada Aufar. "Melakukan apa?"
"To make you say yess. What should I do, Shafa?"
Shafa mengerjap. Sejujurnya ia bingung dengan pertanyaan Aufar kemarin. Pemuda itu tidak menyukainya dalam artian jatuh cinta. Tapi pemuda itu merasa membutuhkannya.
"Tell me, Far, kebutuhan yang seperti apa sih yang lo maksud? Jangan menganalogikan dengan udara atau apalah. Gue tahu, gue nggak sepenting itu."
"Matter. I thought. Gue nggak akan bilang kaya gini kalau emang lo nggak sepenting itu."
"Ya jelasin dong alasannya. Biar gue paham, Far."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Georgeous Witch
Teen FictionPercaya dengan keajaiban? Keajaiban datang ke pada orang-orang terpilih. Entah melalui apa dan siapa. Pertama, seperti yang terjadi pada dunia Aufar. Selama ini ia terjebak pada dunia yang menyebalkan, belum ada yang bisa menyelamatkannya dari kuban...