4. Sintesis Apriori

35 1 0
                                    

====

Minggu lalu Bang Iko pulang kampung. Jadi selama 6 hari ini Shafa lebih sering berangkat sekolah bersama ayahnya. Dan itu yang paling dibenci oleh Shafa. Pasalnya sang ayah lebih banyak berbicara dengan metode introgasi selama perjalanan menuju sekolahnya.

"Bahasa Inggris kamu kemarin masih dibawah standar. Kamu yakin selalu hadir di bimbingan Miss Inggrid, Shaf?"

Itu masih pertanyaan mudah. Tentang nilai sebuah mata pelajaran. Shafa tidak begitu pandai dalam grammar Bahasa Inggris. Makanya nilai yang ia dapat selalu dibawah nilai standar ayahnya.

"Shafa hadir kok, Yah. Tanya aja Miss Inggrid."

Miss Inggrid itu guru pembimbing anak dari rekan kerja ayahnya. Shafa mengikuti bimbingan online itu juga karena atas rekomendasi dari teman ayahnya. Dan akhirnya mengalirlah ceramah dari ayahnya perihal rajin belajar dan pentingnya membaca buku karangan luar negeri seperti karya Agatha Christie.

Hari-hari berikutnya, tidak jauh beda. Masih tentang dunia pembelajaran dan nilai. Sejujurnya Shafa senang berbincang-bincang dengan ayahnya. Jika saat mereka berdua bertemu di hari minggu saat ayahnya bebas tugas. Obrolan mereka akan bermuara pada cerita-cerita seru dengan pembahasan beraneka ragam tajuk. Bukan pada standar kepintaran yang diukur melalui seberapa besar nilai yang tertulis pada rapormu.

Pada hari keenamnya sekarang. Pembicaraan itu kini beralih pada hari-hari Shafa di sekolah. Siapa teman Shafa. Itu yang terpenting. Ayahnya tahu bahwa teman Shafa yang paling dekat adalah Tsania dan Indira. Ayahnya hanya sebatas tahu tanpa berusaha mengenal kedua teman dekatnya itu.

"Ayah tidak melarang kamu berteman dengan siapa pun. Selama mereka tidak membawa dampak buruk terhadap kamu, its okay, dears."

Ini alasan mengapa ia benci berbincang dengan sang ayah jika sudah membahas kehidupan pribadinya. Teman dan dampaknya. Baginya berteman tidak perlu memandang itu. Ia punya otak untuk berpikir dan ia tahu bagaimana harus memilih teman berdasarkan kinerja otaknya.

Shafa turun dari mobil ayahnya dengan perasaan lega yang luar biasa. Namun harus luntur begitu cepat kala sosok Alcander datang menghampirinya. Bahkan ketika sang ayah belum beranjak dari tempatnya.

"Morning, Sunshine."

Alangkah indahnya jika kalimat itu diucapkan saat tidak ada ayah Shafa saat ini. Bahkan gadis itu tidak berani melirik ayahnya barang sedikit.

"Kamu teman Shafa?"

Itu dia suara sang ayah. Usia ayahnya belum genap 43 tahun ini. Sudah pasti telinganya masih berfungsi. Dan ia tidak mungkin tidak mendengar sapaan cheessy ala Alcander di pagi buta seperti ini.

Alcander menatap ayahnya. Dan senyuman ramah terbit begitu saja bersamaan dengan uluran tangannya. "Iya Om. Saya Alcander."

Ayah Shafa mengangguk tegas khas bapak-bapak. "Saya Pribadi. Teman satu kelas?"

Ini dia metode introgasi jurus andalan sang ayah.

"Tidak, Om. Saya berada di MIA 1 dan Shafa ada di MIA 4."

Sanga ayah berdecak dan melirik Shafa dengan sinis. "Pantas kamu bisa panggil anak saya sunshine. Coba ajarin anak saya Bahasa Inggris."

Al mengernyit. Merasa tidak mengerti dengan kesinambungan antara kelas dan Bahasa Inggris. Apalagi ia cukup tahu kalau Shafa tidak bodoh dalam pelajaran bahasa asing.

"Yah, Shafa sama Al masuk dulu, ya?" Buru-buru gadis itu memotong. Rupanya interupsi Shafa belum dipahami oleh sang pemuda. Al masih asyik dengan posisinya saat ini.

The Georgeous WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang