#2 : I still looking for stars

189 40 23
                                    

Bintang kadang bingung dengan dirinya sendiri. Seringkali di otaknya terbersit satu pertanyaan yang muncul disela lamunannya dalam suatu sore, datang tiba-tiba ketika matanya baru saja bertemu-pandang dengan burung gereja yang terbang dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya. Pertanyaan yang tak pernah Bintang temukan jawabannya, sama hal seperti Fana yang tak pernah menemukan bintang-bintang tiap malam yang menurutnya sudah hilang. Hilang karena apa? Ditelan awan?

Pertanyaan bahwa; mengapa perasaannya masih dan sepertinya akan selalu untuk Fana?

Karena bilasaja dipikir secara logika, masih ada seribu satu perempuan yang bisa Bintang sukai dengan persen kemungkinan perasaannya akan terbalas lebih banyak ketimbang gadis bernama Fana itu. Seperti, Dianni, cewek pemalu yang kelihatannya mengagumi Bintang dari setahun yang lalu. Atau mungkin ke level yang lebih tinggi, Luilla, cewek cantik mantan ketua cheers yang dekat dengan Bintang karena pernah satu kelas.

Tapi hati Bintang terlalu buta untuk sekedar melihat cewek-cewek itu. Yang dia inginkan cuma Fana, tidak ada yang lain.

Alasan logis yang Bintang punya sebenarnya cuma satu, karena Fana melihat Bintang sebagaimana adanya dia. Sebagaimana adanya seorang Bintang Adyan.

"Kenapa lo selalu manggil gue 'Fana' sih? Nama gue Ana tau!"

"Ana terlalu bagus buat cewek pecicilan kayak lo," Bintang mengeles. Andai saja cowok itu lebih berani untuk mengatakan; karena lo terlalu fana buat gue! Pasti masalah selesai.

Fana membalasnya dengan dengusan sekaligus jambakan maut.

"Nyebelin banget. Hih, nama 'Bintang' juga terlalu kebagusan buat cowok ngeselin dan rese kayak lo."

Bintang cuma menyengir tanpa arti, lalu mengacak-acak pelan rambut Fana sampai gadis itu mendecak sebal dan membalasnya dengan gelitikan di pinggang; salah satu hal kelemahan Bintang.

"Stop ah, Na!"

"Lo juga stop ngerusak rambut gue yang udah gue atur sedemikian rupa, biar mirip salah satu model rambut yang pernah dipake Selena Gomez!"

Bintang tertawa, bermaksud meledek karena menganggap hal tadi adalah sesuatu yang jenaka. Fana masih mengerucutkan bibirnya dan membuang muka dari Bintang. Matanya memilih untuk memandangi danau di hadapannya ketimbang harus bertatapan dengan wajah menyebalkan milik Bintang.

"Sejak kapan Selena Gomez pernah pake model rambut ala-ala gembel gelandangan?"

"Tuh kan, kurang ajar! Rambut bagus begini juga, gue baru nyalon asal lo tau! Mahal lagi nyalonnya!"

"Masa? Hasil ngemis berapa lama?"

"Bener-bener minta didepak ke blackhole nih anak!"

Tertawa sebentar untuk setelahnya Bintang berdiri, berjalan mendekati danau kecil yang mana adalah tempat pelariannya dan Fana dulu tiap kali mereka sedang ingin ketenangan. Fana sebenarnya punya dua tempat, yang pertama atap dan yang kedua danau ini.

Mata Bintang terkunci pada capung-capung yang saling berterbangan kesana-kemari di atas permukaan danau. Lalu spontan, mulutnya mengatakan sesuatu yang tidak berada di bawah kendalinya.

"Perasaan orang itu bisa berubah dengan cepat gak sih, Na?"

Fana diam sebentar, berpikir mengapa Bintang tiba-tiba bertanya begitu. Bintang juga diam, merasa ada yang salah dengan perasaannya selama ini.

"Hah? Ng-Nggak tahu. Tergantung sih."

"Gue pengen banget ngilangin perasaan yang gue punya, Fana. Tapi susah, dari dulu gue gak pernah bisa."

"Perasaan? Perasaan sama siapa?" tanya Fana penasaran ketika merasa perbincangan diantara mereka berdua mulai menjadi menarik.

Fana ikut berdiri, lalu berjalan untuk setelahnya menghentikan langkah tepat di sebelah Bintang yang masih menatapi capung-capung.

"Ada lah. Cewek."

"Ih! Bintang suka sama orang? Jahat banget sih kok lo gak pernah nyeritain ke gue? Wah, bukan temen nih ah."

"Iya, gue juga berharap kita bukan temen doang, Na."

Fana semakin bingung dengan sikap Bintang yang makin melantur begini.

"Lo kesambet apa sih, Tang? Lagi gak kesurupan kan?"

Bintang mengukir senyuman culas. Matanya menatap Fana sendu. Ada gejolak yang sangat ingin Bintang luapkan detik itu pula, tapi tak pernah bisa. Bintang tidak punya kuasa apa-apa.

"Sampe kapan lo mau nungguin bintang-bintang itu, Na?"

"Maksud lo, yang di langit?"

Bukan, Fana. Maksud gue Argy. Bintang sangat ingin berkata hal tersebut tapi yang keluar dari mulutnya adalah sesuatu yang sebaliknya.

"Iya," kata Bintang mengangguk.

"Masih lah. Dan selalu kayaknya. I'm still looking for stars."

Serupa kayak lo yang masih mencari dan menunggu Argy. Sedangkan seseorang yang ada di sebelah lo gak pernah sedetikpun lo lirik, Na.

Bintang-bintang yang berada di atas langit, yang selalu Fana tunggu itu, seakan sama derajatnya dengan Argy yang akan selalu Fana tunggu. Lalu siapa Bintang dimata Fana? Ck. Nothing.

Hanya sampah.

Dengan itu Bintang tersenyum, mengusap puncak kepala Fana pelan, lalu mengucapkan suatu hal paling menyakitkan yang pernah keluar dari mulutnya sebelum akhirnya Bintang pergi dari sana. Dari danau yang seharusnya memberikan ketenangan itu, tapi justru kali ini memberi rasa sakit yang teramat sangat.

"Gue doain yang terbaik buat lo dan Argy, Na."

***

B E R S A M B U N G

FANA [3/3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang