"Kenapa suka banget sih duduk di atap malem-malem? Serem tau ngeliatnya."
Bintang tiba-tiba muncul di balkon rumahnya, mengagetkan Fana yang sedang berdiam menatap langit hitam. Gadis itu cuma mendengus, sudah menebak kalau Bintang pasti akan datang malam ini. Cukup sekali saja Fana menengok, melihat Bintang dengan hoodie hitamnya yang kini sedang menaruh kedua tangan di besi-besi pembatas balkon, Fana lalu kembali pada pandangan awalnya yaitu memandang langit.
"Kebiasaan ngagetin orang hobinya, kalau gue jatuh ke bawah gimana?" Fana berdecak. Ingin sok ngambek, tapi Bintang tahu gadis itu sebenarnya tidak bisa.
Bintang terkekeh ringan. Kaki-kakinya melompat dari balkon, lalu menapak di atap rumah Fana yang sepertinya memang sengaja didesain khusus untuk ditongkrongi. Duduk di sebelah Fana sesaat setelah memperhatikan gadis itu sebentar, gadis yang masih sibuk berkelana dalam dunianya sendiri.
Kebiasaannya masih sama. Selalu berdiam di atap kalau sedang banyak pikiran. Merasa kalau menatap langit malam-malam sambil meminum cokelat panas di atap adalah zona ternyamannya. Tidak pernah berubah.
Alfanadira Capella memang tidak pernah berubah dimata Bintang. Selalu mengagumkan dan menyebalkan di satu waktu. Begitu pula perasaannya pada gadis itu. Mata bening kecoklatan dan rambut hitam legam yang seringkali dikuncir satu selalu membuat Bintang gemas bercampur rindu.
"Pertanyaan gue belum dijawab loh. Kenapa suka banget sih duduk di sini? Diantara tempat pw lain yang ada di rumah lo, kenapa di sini?"
"I'm looking for stars. Bertanya-tanya sendiri tiap malem, kenapa mereka hilang? Terus gue inget-inget, kapan terakhir kali gue ketemu mereka? Padahal dulu, tiap malam selalu ada bintang," Fana termenung. "Polusi kayaknya udah menculik semua bintang, bikin mereka hilang."
Bintang melengkungkan senyum mesam-mesemnya.
"Padahal gue disini loh, Na. Gak usah dicari."
Fana membalasnya dengan pukulan di lengan, membuat Bintang terkekeh.
"Bukan lo."
Pandangan Bintang tertuju pada satu titik yang gadis itu punya. Iris mata indah milik Alfana yang selalu membuat Bintang terjatuh ke dalamnya. Ke dalam lubang perasaan yang semakin lama semakin terasa dalam, tanpa pernah Bintang tahu bagaimana cara keluarnya.
Fana selalu membuat dunia milik Bintang kacau, tiap kali gadis itu tersenyum. Selalu membuat jantungnya loncat ke perut, tiap kali gadis itu tertawa. Selalu membuat Bintang kehabisan akal hanya untuk berpikir waras.
Dunia serasa berhenti berotasi, hukum gravitasi seperti tak lagi berlaku di bumi, dan semua hal jadi terasa salah kalau di sebelahnya duduk seorang Alfana.
"Cokelat panas tanpa gula ... lagi?"
Fana mengerjap, dia melihat secangkir cokelat panas yang berada di sebelahnya. Masih mengepul sebab baru dibuat. Lalu, kepalanya mengangguk.
"Lagi banyak pikiran?"
"Nggak."
"Lo gak jago buat bohong."
"Sok tahu. Emang nggak kok."
Bintang melirik Fana, lalu menghela napas. Bertahun-tahun kenal dengan gadis itu, tabiatnya masih sama. Selalu menutup-nutupi keadaan hatinya dari Bintang. Padahal, Bintang bahkan sudah mengenal Fana lebih dari ia mengenali dirinya sendiri. Bintang memperhatikan Fana lebih dari ia memperhatikan dirinya sendiri.
Dunia Bintang hanya untuk Fana. Tapi, bahkan gadis itu tidak pernah sadar akan segala perhatian yang telah Bintang berikan. Status mereka di mata Fana masih tetap sekedar teman.
Entah sampai kapan.
"Tutup mata lo, Na."
Fana menoleh melihat Bintang, bertanya 'untuk apa?'
"Just close your eyes, Alfanadira."
Fana tak lagi banyak bicara, dia mengikuti apa yang Bintang katakan. Memejamkan matanya erat, menghilangkan segenap hiruk pikuk dunia di matanya dalam sejenak.
"Lo mungkin bisa bohong sama gue, sama semua orang, bahkan sama diri lo sendiri. Tapi lo gak bisa berbohong sama dunia, gak bisa bohong sama semesta," Bintang mengalihkan pandangan matanya pada langit hitam yang tak pernah satu malam pun menampakan tanda-tanda akan munculnya bintang.
"Gue tahu, dengan menutup mata, masalah emang gak bakal bisa hilang sekejap ketika lo membuka mata lagi. Tapi kadang-kadang, hal yang perlu lo lakukan itu cuma melupakan sejenak semua hal, semua masalah. Dengan terus berkutat pada satu masalah itu, cuma bikin diri lo sendiri sakit, Na."
Fana berdiam di tempatnya, di posisinya. Pandangannya gelap gulita tanpa ada satu hal yang mengganggu atau mengusik penglihatannya. Hening dan tenang, hanya gelap yang tersisa.
Bintang mengambil gelas berisi cokelat panas tanpa gula itu tidak seijin Fana, ia langsung membalik gelasnya hingga isi dari gelas itu jatuh ke bawah, menyentuh aspal jalanan. Begitu isinya telah habis sempurna, Bintang menaruhnya lagi di sebelah Fana.
Fana langsung membuka mata, melotot melihat apa yang baru saja Bintang lakukan.
"Kenapa lo buang?"
"Gue tahu lo sebenarnya gak suka ngelakuin ini. I know you really hate this freaking hot chocolate. Lo cuma lari, Na. Lari dari masalah."
Fana tersenyum miris.
"Yes, I am. Gue cuma butuh sesuatu yang pahitnya sama seperti hidup gue."
Detik itu, Fana menangis. Detik itu juga, Bintang sangat ingin memeluk gadis itu. Mengusap puncak kepalanya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi Bintang tidak bisa. Dia menahan semuanya, menahan segala hal.
"Fana, sebenarnya bintang-bintang itu gak hilang. Mereka ada. Terus ada setiap harinya. Tahu kenapa mereka gak bisa lo lihat?"
Fana diam, tidak berniat untuk menjawab.
"Karena mereka gak mau lihat air mata lo, Na."
Angin malam senantiasa memberikan dingin pekat yang makin membuat tangis Fana pecah. Tangan Bintang perlahan bergerak untuk menyentuh jari-jemari milik Fana yang bergetar. Mengalirkan hangat.
"Selalu Argy orangnya, Bintang. Selalu dia yang bikin hati gue kacau. Perasaan yang gue tanam di hatinya terlalu dalam, sampai bikin gue sakit sendirian," Fana terisak kembali, mengambil napas dalam-dalam, berharap tangis itu bisa berhenti.
"Kenapa ya, Tang, Argy selalu jadi daftar pertama dalam list orang-orang yang selalu gue pikirkan? Dari sekian banyak orang yang gue kenal gitu, kenapa selalu dia? Kenapa?"
Iya, Fana. Kenapa bukan gue? Bintang, yang setiap hari selalu setia di sisi lo. Bintang, yang setiap detik siap untuk selalu lo ganggu. Bintang, yang kapanpun ada buat lo, Alfana.
Kenapa gak pernah ada nama gue di kamus kehidupan lo, Na?
Dan dia tetaplah seorang Alfana. Seseorang yang akan selalu fana untuk Bintang.
***
B E R S AM B U N G
KAMU SEDANG MEMBACA
FANA [3/3]
PovídkySama halnya dengan nama yang dia punya, dia serupa dengan sesuatu yang fana. Ada, tapi kelak akan menghilang. Dia mengaku suka dengan hal berkaitan dengan astronomi. Khususnya, rasi bintang. Pun serupa dengan bintang, ia terlalu sulit untuk diraih...