Alfana : kabar baik, Tang
Alfana : gue sama Argy resmi jadian!***
Beberapa kali Fana melirik handphone nya, mengecek siapa tahu Bintang sudah membalas pesannya dua hari lalu atau setidaknya ... sekedar membacanya. Tapi aneh, tidak ada respon apapun dari pria itu. Saking bingungnya Fana daritadi menggigit-gigiti bibir bawahnya sampai luka, kebiasaannya dari dulu. Kalau sudah begitu ia hanya bisa meringis lalu mengambil tisu untuk mengelap darah yang ada di bibir.
"Kenapa, Na?"
Suara bass milik Argy mengagetkan Fana. Gadis itu cuma menggeleng ragu sambil tersenyum paksa, bermaksud menjelaskan bahwa tidak ada hal serius apapun yang terjadi. Lagipula, Argy tidak perlu peduli juga.
"Itu bibir kamu kenapa?" tangan Argy yang hendak menyentuh bibir bawah Fana reflek segera ditepis oleh gadis itu.
"Ng-nggak. Gapapa."
"Gapapa gimana? Itu berdarah loh."
"Iya tapi aku gapapa," jawab Fana entah kelewat ketus atau bagaimana. Argy yang sedikit kaget dengan jawaban Fana pada akhirnya cuma bisa diam. Mungkin Fana sedang butuh waktu untuk sendirian, dan Argy sangat mengerti akan hal itu.
Berdiri dari duduknya, Argy lalu menatap Fana.
"Oke kalau gitu. Eung-aku ke sana dulu deh ya."
Fana mengangguk mengiyakan, tidak ingin bertanya kemana perginya Argy. Lima belas menit Fana berkutat di ponselnya, berharap balasan pesan dari Bintang akan muncul dan membuatnya kembali tersenyum. Tapi tidak ada.
Sebersit ide membuat Fana akhirnya segera melakukan apa yang otaknya perintahkan. Fana mengambil tas slempang, mengetik sesuatu di ponselnya untuk setelahnya dikirim ke Argy, lalu bergegas pergi.
To : Argy
Gy, lo pulang duluan aja. Gue mau pergi. Maaf gak pamitan dulu, ini darurat.Fana harus menemui Bintang detik ini juga. Sekiranya itu yang otaknya suruh saat ini.
***
Diamnya Fana bergerak seiringan dengan hilangnya dunia dalam pandangannya. Kosong. Tak menentu. Hanya ada pertanyaan mengapa dalam otaknya kini.
Kali ini dunia Fana sedang tidak dibuat sunyi karena dirinya yang selalu bertanya kemana hilangnya bintang-bintang itu tiap malam, seperti yang selalu ia lakukan. Bukan. Fana bukan sedang resah karena hal itu. Ada hal yang lebih penting, yang lebih membingungkan untuk dipikirkan.
Ada hal baru, yang kiranya lebih meresahkan dari hilangnya bintang-bintang di langit. Sesuatu yang entah mengapa, seakan telah memakan habis jiwanya. Sesuatu yang ikut melenyapkan separuh kehidupan Fana juga. Sesuatu yang membuat Fana menangis sendirian di kamar sejak dua jam yang lalu.
Dia hilang. Dia telah pergi.
"Assalamualaikum, Bi. Bintangnya ada?"
"Waalaikumsalam. Loh, dek Ana memang gak tahu ya?"
Fana mengernyitkan kening.
"Tahu apa, Bi?"
"Astaghfirullah, dek Ana ndak tahu? Mas Bintang kan sudah pergi nyusul Ibu ke Jerman. Mau lanjut kuliah disana, dek Ana."
Detik itu, dunia milik Fana telah redup sepenuhnya. Satu berita menyakitkan itu membuat separuh dari diri Fana hancur lebur tak bersisa. Kenapa? Kenapa tiba-tiba? Kenapa Bintang menutupi ini semua?
"Ah iya, bibi baru inget. Mas Bintang nitip sesuatu buat dek Ana. Sebentar ya."
Bibi datang, menyodorkan sebuah kotak kecil entah apa isinya. Fana menerimanya dengan ragu dan pilu. Rasanya terlalu menyakitkan.
"M-makasih, Bi. Kalau seandainya Bintang pulang ke sini, tolong titip salam buat dia ya, Bi. "
Dan di sinilah Fana. Menangis diam di pojok kamarnya, berkali-kali mengirim pesan pada Bintang yang mustahil akan dibalas.
Fana lalu membuka kotak pemberian terakhir dari Bintang, di sana terdapat sebuah kaset. Dengan cepat Fana mengambil laptop dan headphone putih miliknya, lalu memasukkan CD itu ke dalamnya.
Ada desah napas seseorang di telinganya, dan muncul seseorang dengan t-shirt hitam tengah tersenyum ke kamera. Meski napasnya tidak terdengar begitu jelas, sudah cukup untuk membuat awal yang menyedihkan.
"Alfanadira Capella. Entah kenapa, nama lo terdengar sangat bagus di telinga gue. Dan entah kenapa juga, kayanya segala hal tentang lo memang akan selalu bagus bagi gue.
Gue sebenernya baca pesan terakhir lo itu. Selamat ya, impian lo buat jadian sama Argy tercapai juga, Na. Gue turut seneng, dan semoga lo bahagia sama dia. Kalau dia nyakitin hati lo, apapun akan gue lakukan buat bikin dia nyesel ngelakuin itu.
Fana. Lo selalu nanya kenapa gue manggil lo begitu, bukan manggil lo pake 'Ana' yang mana adalah nama panggilan lo sesungguhnya. Dan gue selalu jawab karena nama Ana terlalu bagus buat bocah pecicilan kayak lo.
Kalau lo percaya, lo salah. Bukan itu alasannya."
Bintang menghela napas.
"Alasannya ... karena lo akan selalu fana buat gue. Sampai kapanpun, lo akan selalu susah buat gue gapai. Gue kagum sama lo, Na. Dan gue menyukai lo lebih dari yang seharusnya. Harusnya lo sadar akan hal itu dari awal, tapi ... " Bintang tersenyum culas. "lo terlalu buta buat ngelihat gue. Hati lo cuma untuk Argy."
"Tapi gapapa. Gue tahu Argy juga baik buat lo. Dan ya, gue akhirnya memutuskan untuk pergi dari dunia lo. Biar kehadiran gue gak bikin lo risih. Gue mau lanjut kuliah di Jerman, tinggal sama Ibu. Maaf Na, sebelumnya gak kasih tahu lo. Gue gak mau jadi beban."
"Alfana, selamanya lo akan selalu menempati ruang yang paling spesial di hati gue. Lo memori yang paling sulit buat gue hapus. Gue seneng ngeliat lo seneng, Na."
"Na, di dalam kotak itu, gue udah buat bintang-bintang kecil yang bisa lo tempel di langit-langit kamar lo. Bisa nyala kalau gelap. Walaupun gak mirip bintang asli, setidaknya itu bisa nemenin lo kalau malem. Gue gak mau ngelihat lo nongkrong di atap lagi, atau ngelihat lo minum cokelat panas pahit yang rasanya freak abis itu. Pake gula kek, Fana, kali-kali. Walaupun lo udah manis, lo juga tetep butuh sesuatu yang manis."
"Na, kayaknya mulut gue udah seret ngomong mulu. Gitu aja deh ya, maap kalo bosenin. Kalau lo kangen sama gue, play aja lagi videonya."
"Bye, Fana. Kalau di langit lo masih gak bisa nemuin bintang-bintang itu, berarti jarak antara kita berdua masih deket. Gak ada yang perlu lo risaukan tentang jarak, Na. Gue selalu doain semoga lo bahagia."
***
E N D
KAMU SEDANG MEMBACA
FANA [3/3]
Short StorySama halnya dengan nama yang dia punya, dia serupa dengan sesuatu yang fana. Ada, tapi kelak akan menghilang. Dia mengaku suka dengan hal berkaitan dengan astronomi. Khususnya, rasi bintang. Pun serupa dengan bintang, ia terlalu sulit untuk diraih...