Hola!

77 5 0
                                    

Aku masih berdiri di hadapan senja,
Mengamati dengan saksama cahaya
Keemasan itu. Sepertinya bahagia sekali menjadi senja.

Ya, aku memang menyukai senja.
Setiap hari, aku menunggu senja sampai benar benar menghilang.
Jika senja belum tenggelam, aku
Akan tetap berdiri di hadapannya,
Menikmati kecantikannya, mencium
Aromanya.

"HELLENNN!!"

Aku menoleh ke sumber suara.
Kulihat Angga menuntun sepeda,
Mendekatiku.Aku yang kesal kepadanya, langsung memalingkan
Pandangan kembali pada senja.

"Senjanya belum pulang, ya?"

Tanyanya dengan tampang innocent.

Derap langkahnya semakin mendekat, dan aku kembali menoleh ke arahnya. Menatapnya sinis. Sedikit menusuk, karena sebelumnya dia menolak ajakan ku untuk menyaksikan senja.

"Kamu kenapa ke sini? Bukannya tadi kamu bilang nggak mau temenin aku?"tanyaku ketus.

Lalu dia hanya cengengesan di depanku, membuatku semakin kesal.

"Mmm... Maaf. Tadi aku...."

Belum selesai Angga ngomong, aku
Langsung mengalihkan pandangan
Ku lagi darinya.

"Senjanya hampir hilang,"

Ujarku memotong pembicaraannya.
Mataku masih lekat memandang gerik senja yang akan hilang digantikan sang bulan.

"Hellen...."
Aku menoleh ke arah Angga. Sebentar
Saja kulirik.

"Aku masih kurang mengerti, kenapa kamu maniak senja," ujarnya.

"Aku juga belum mengerti, kenapa kamu lebih menyukai Pinus ketimbang pohon yang lain?"

Ujarku tanpa menjawab pertanyaan nya.

"Pinus itu spesial di mataku, dan yang
Bikin aku makin suka,tanganku nggak
Bisa saling berpegangan ketika
Memeluknya, saking gedenya,"

Ujarnya dengan senyuman khas, lalu bergantian menatap gelap yang hampir sempurna di hadapanku.

"Kalau pinusnya kecil, mungkin kamu bisa memeluknya secara utuh dan berpegangan tangan,"

Sahutku sambil menjulurkan lidah.

"Tapi di sini nggak ada Pinus kecil, Hellen. Semuanya gede gede,"

Ujarnya setengah melotot ke arahku.

"Dan kamu harus tahu filosofi Pinus.
Pinus itu melambangkan sebuah cinta yang kokoh, lurus, dan tidak bercabang."

"Oh...."

Aku terdiam sejenak. berusaha
Memaknai filosofi Pinus yg dia jabarkan tadi.

"Ketika menyukai sesuatu, apa kita juga harus memberi alasan, Angga?"
Ujarku parau.

"Semua itu butuh alasan, dan nggak mungkin kamu menyukai senja tanpa alasan."

Aku memutar Tubuhku tanpa meminta persetujuannya.
Kudengar dia sedikit kesal, lalu ikut
Berbalik,meraih sepeda miliknya dan
Menuntunnya, menyejajarkan langkahku yang kosong, tanpa
Kendaraan apa pun.

"Kalau begitu, apa alasan kamu mau
Bersahabat dengan ku sebegini lama?"

"Mmm..." Angga terlihat berpikir.

"nggak tahu."

"Kamu bukannya nggak tahu, tapi memang nggak punya alasan."

"Mungkin, karena kita tetanggaan. Hehehe...,"

"Huh!"
Aku memanyunkan bibir.

"Udah gelap, harus buru buru sampai rumah. yuk, naik!"

Dengan tampang yang masih jutek,
Aku naik ke boncengan, lalu Angga
Mengayuh sepeda secara cepat.

"Kita bukan setahun dua tahun bersahabat, seharusnya kamu tahu
Kenapa aku suka senja. Harusnya itu bukan lagi menjadi pertanyaan yang
Terus keluar. Aku bosan jawabnya, tau!" Protesku.

"Ya, aku tahu itu, Len. Cuma aku masih kurang percaya aja kalau ada orang yang menyukai senja. Kamu bisa kan suka cokelat, suka stroberi, bukannya senja yang jauh di sana dan sulit kamu sentuh, bahkan untuk mencium baunya saja kejauhan."

"Udah ah! Aku nggak mau debat sama kamu. Aku rasa nggak perlu aku jabarin kenapa aku suka senja.
yang harus kamu tahu. Kalau lihat senja, hatiku damai . Cukup sekian dan terima kasih!" Tutupku.




Sama seperti ketika aku berada di dekatmu.
Hatiku damai meski aku tahu kamu
Tak akan pernah jadi milikku,
Angga.

Friends ᴢᴏɴᴇ ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang